Selasa, 12 Juni 2012

KPK Kerjasama IDI Dalam Penanganan Tersangka Korupsi

KPK & IDI Cegah Terperiksa Mangkir

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin serius mencegah para terperiksa mangkir karena alasan kesehatan. Karena itu KPK menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memberi penilaian medis dan masalah second opinion.
KPK menilai IDI karena menilai sebagai instansi yang objektif. "Untuk menghindari hal-hal yang bisa menghambat, maka KPK menyadari betul membutuhkan keterangan yang lebih objektif di bidang kedokteran," ujar Ketua KPK, Abraham Samad, di Kantor KPK, Senin (11/6).

Abraham menambahkan, memorandum of understanding (MoU) antara KPK dan IDI menyangkut dua hal fundamental. Hal itu adalah soal penilaian medis dan masalah second opinion terhadap saksi, tersangka dan terdakwa, serta second opinionyang lebih objektif.

Dia menilai masa lalu ada kecenderungan orang yang akan diperiksa sebagai saksi, tersangka dan terdakwa dilakukan tidak wajar.

Seperti pura-pura sakit, pura-pura pingsan begitu juga saat pengadilan. Sehingga diharapkan adanya kerja sama dengan IDI, KPK bisa lebih memahami dan mengerti second opinion yang lebih objektif.

Siap Pecat

Ketua IDI Priyo Sidipratomo mengatakan IDI adalah bagian komponen bangsa yang ikut membantu pemberantasan korupsi. Selama ini IDI dalam mendidik dokter, selalu mengawasi dan menjaga mutu dokter dari sisi pengetahuan dan etika.

Dalam perjanjian ini KPK berhak mendapatkan dokter umum dan spesialis untuk memeriksa. "Penilaian IDI adalah final tidak boleh dibandingkan lagi," ujarnya.

Alhasil, dokter pribadi baik saksi, tersangka dan terdakwa hanya bertugas merawat kesehatan yang bersangkutan. Priyo juga mengungkapkan bahwa tim dokter yang dibentuk KPK untuk kasus-kasus tertentu. Mekanismenya tim dokter akan mendapat data dari dokter pribadi, setelah itu diperiksa apakah data itu sesuai atau tidak.

Namun bila ada dokter pribadi yang memanipulasi pemeriksaan, IDI mempunyai wewenang memberi sanksi kepada dokter tersebut. "Sanksi paling berat adalah mencabut rekomendasi, sehingga yang bersangkutan tidak bisa praktik," tegasnya.

Lebih lanjut Priyo mengatakan bila hasil dokter pribadi tidak menghambat dan tidak akal-akalan, tidak menjadi masalah. Jika menghambat, maka akan jadi masalah untuk bersangkutan.

Sumber : Bisnis Indonesia, 12 Juni 2012