Selasa, 02 November 2010

Koruptor di Level Atas Diberangus di Daerah Menjamur

Korupsi memang merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya selain judi. Kalau tidak dibasmi bisa membunuh berjuta-juta rakyat bangsa Indonesia. Mengapa tidak! Karena rakyat Indonesia yang mestinya mendapat kesejahterann dari pos anggaran yang ada dalam APBN, APBD Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota bahkan hingga ke Desa dikorup atau digelapkan/ diselewengkan, dipakai diri sendiri atau secara berkelompok oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang namanya koruptor, sehingga rakyat menderita dan tambah sengsara.

Dampaknya sangat luas merata dan menyiksa umat manusia Indonesia melebihi kemurkaan alam seperti bencana alam tsunami dan meletusnya gunung Merapi.

Ini merupakan tantangan dan pekerjaan berat bagi Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono – Budiono. Untuk itu SBY tidak bisa duduk tenang-tenang di singgasana kepresidenan dan harus bekerja keras lagi.

Bentuk kerja keras Pemerintahan SBY-Budiono itu harus benar-benar difokuskan pada pemberantasan penyakit korupsi yang sudah kronis, tanpa pandang bulu siapapun orangnya yang korup harus disikat habis, mestinya begitu! Namun sayang kerja keras Pemerintah SBY yang diberantas hanya di level atas saja, di bagian bawah kabupaten/kota tidak, malahan begitu dipotong satu jatuh tumbuh seribu di bagian bawahnya.

Dalam arti seorang kuruptor ternyata masih mempunyai kekuatan dan dukungan yang dahsyat dari Pemerintahan di bawahanya, pada akhirnya membuat kelompok dan kekuatan baru yang sepaham untuk berkorupsi dengan nama Pemerintah Daerah yang korup.

Adanya kelompok baru di level Daerah ini, terjadi pro kontra antara yang anti korupsi dan yang pro koruptor. Siapa yang menjadi korban? Tentu rakyat bangsa Indonesia sendiri yang menjadi korban. Mereka tidak tahu politik, tidak tahu skenario dan hasutan provokator orang elite itu, sehingga muncul di berbagai daerah unjuk rasa menentang berbagai macam kebijakan Pemerintahan SBY-Budiono.

Semua itu kalau direnungkan dalam hati yang mendalam baik yang pro dan anti, tujuanya sama yaitu untuk Perut. Koruptor ingin menumpuk kekayaan harta benda karena takut lapar. Sedangkan yang anti korupsi takut besoknya tidak ada yang di makan.

Menurut Benyamin Sastro Husodo, dari pemantau independent pelaksana pejabat Pemerintah mengatakan, sejak awal kran reformasi dibuka oleh mahasiswa, peluang kebebasan untuk korupsi semakin menggila di berbagai lini, sampai lewel tingkat Pemerintahan Desa, termasuk dalam menyampaikan pendapat di muka umum dan di berbagai tempat terbuka semakin terbiasa dan menjadi kebiasaan budaya bangsa Indonesia sehari-hari.

Kebebasan budaya korupsi di Daerah bisa menghalalkan segala cara, korupsi itu kebebasan yang melanggar Undang-undang dan aturan. Sehingga Peraturan Pemerintah, Undang-undang yang mengatur rakyat bangsa Indonesia hanya sebagai simbul belaka dalam bahasa Jawa ‘kanggo nduwen-nduwen’.

Di samping itu korupsi bisa menimbulkan raja-raja kecil di Daerah, yang punya kesempatan untuk korupsi menjadi kaya/raja dan yang kaya makin kaya dan yang tak punya makin sengsara.

Lebih lanjut, ini sudah terbukti sejak Pemerintah menggelontorkan dana langsung ke Daerah/Desa dalam bentuk program PNPM, JPES, Ketahanan pangan, Pembibitan dana block grand pada dinas pendidikan DAK, UKM dan lain-lain, banyak dinikmati digelapkan dikorupsi dalam bentuk proposal. Laporannya beres, LPJ beres, angkanya beres selesai.

Pengawasan di daerah tak berfungsi pasalnya para pengawas ikut menikmati. Aparat yang ada seperti kepolisian, kejaksaan, aparat Daerah dan perangkat desa yang menangani semuanya menjadi keparat alias pengkianat rakyat. (**)

http://www.kpk.go.id

Tidak ada komentar: