Jumat, 29 Oktober 2010

Pegawai Tidak Perlu Takut Laporkan Penyimpangan

Umumnya pelapor merasa takut dan khawatir dimusuhi jika melaporkan penyimpangan yang terjadi di lingkungan kerjanya, apalagi yang berhubungan dengan korupsi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, KPK mengenalkan sistem KPK Whistleblower's System (KWS).

Sistem ini memungkinkan pelapor melaporkan setiap penyimpangan kepada KPK secara online. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Moch. Jasin, saat membuka acara “Sosialisasi KWS dan Pusat Pengendalian Gratifikasi (PPG)” di kantor pusat PT. PLN (Persero) Jakarta, Rabu, 13 Oktober 2010. “Dengan melapor melalui KWS, identitas pelapor tidak akan terdeteksi walaupun palaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan  komputer kantor”, ungkap Jasin.


Sosialisasi KPK di kantor pusat PLN  ini secara garis besar menyinggung KWS dan PPG dengan tujuan agar membuat  bahwa kiri-kanan akan semakin waspada dan tidak ingin melakukan korupsi karena  takut dilaporkan oleh mitra kerjanya. Dengan KWS, apabila di lingkungan  kerja ada yang melakukan penyimpangan, pegawai bisa membuka komputer dan langsung mengakses KWS melalui website: http://kws.kpk.go.id.  “Program ini diciptakan agar setiap pegawai dapat saling mengawasi dalam pengertian untuk menuju kabaikan, bukan mencurigai, bukan hal lain yang justru meruntuhkan perusahaan atau organisasi”, kata Jasin.

Sejak diluncurkan pada September 2009, pengunjung KWS berjumlah sekitar 60.000. Jumlah sebesar ini menunjukkan bahwa literasi masyarakat Indonesia di bidang web sangat tinggi. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 2600 laporan yang berbau korupsi.  “Korupsi yang melibatkan orang penting, penyelenggara negara, atau  penegak hukum merupakan seleksi dari direktorat pengaduan masyarakat (dumas) KPK”, ungkap  Jasin.

Ditinjau dari aspek teknologi, KWS ini sangat aman, yang memungkinkan identitas pelapor tidak bisa di-hack ataupun di-hijack. “Pelapor akan merasa aman karena tidak diketahui orang lain selama orang bersangkutan tidak bercerita kepada orang lain”, tambahnya. Sementara berdasarkan aspek kemanfataan, KWS ini membuat pegawai bisa saling menjaga diri untuk tidak melakukan penyimpangan, apalagi yang mengarah kepada tindakan korupsi.

PLN dijadikan salah satu sasaran sosialiasi KPK dengan harapan PLN menjadi  perusahaan BUMN yang akan mendapat kepercayaan atau trust dari masyarakat. Membangun kepercayaan ini menjadi kewajiban semua stakeholder yang ada di BUMN, dari direksi sampai pegawai dan teknisi yang melakukan layanan langsung kepada masyarakat.

Selain PT. PLN (Persero), kegiatan sosialisasi seperti ini telah dilaksanakan di Pertamina beberapa waktu yang lalu. Selain itu, dalam waktu dekat KPK akan melaksanakan kegiatan serupa di Kementerian Pertanian.

Melapor bukan berarti disita


Gratifikasi apapun yang diterima sedapat mungkin harus dilaporkan kepada KPK agar bisa menghindari fitnah dan prasangka jelek. Setiap cendera mata yang diterima juga harus dilaporkan.  Banyak pihak yang menganggap bahwa pemberian gratifikasi ini dapat memutus tali silaturrahmi. Namun hal tersebut dibantah oleh M. Jasin.

“Pelaporan gratifikasi ini tidak menghilangkan silaturrahmi dan cinta kasih kepada sesama tetangga dan kerabat. Melapor bukan berarti harus disita oleh KPK. Yang penting, gratifikasi tersebut dilaporkan terlebih dahulu ke KPK. Setelah itu gratifikasi akan dianalisis oleh tim. Jika diindikasikan tidak ada konflik kepentingan, maka akan dikembalikan dan menjadi hak kepada penerima gratifikasi”, ungkap Jasin.  Jasin menambahkan bahwa tidak ada batas minimal dalam gratifikasi.

Untuk memudahkan pelaporan gratifikasi yang kerap terjadi, maka dibentuk Pusat Pengendalian Gratifikasi (PPG) di setiap instansi.  “Dalam hal ini, pelapor tidak deal langsung dengan KPK, melainkan kepada PPG yang ada di tempat kerjanya”, ungkapnya.   

PPG  ini dibentuk untuk mendorong kinerja instansi agar lebih bersih, mencegah korupsi, serta mengetahui lebih dini jika ada hal-hal yang mencurigakan. (humas)

Tidak ada komentar: