Laporan Dugaan Penggelembungan Harga (Mark-Up)
Pengadaan Mesin Jahit Jitu pada Proyek SAPORDI TA. 2004 (ABT)
di Departemen Sosial RI
Pendahuluan
Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas program kerja Departemen Sosial dalam kurun waktu 2000-2004. Berbagai program sudah dilakukan Depsos untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, misalnya saja program Adopsi Desa Miskin, KUBE Penggemukan Sapi Potong Australia, KUBE Tanam Padi dengan Pupuk Urin Sapi.
Selain program-program tersebut, pada Maret 2004 Depsos RI meluncurkan program baru dalam pengentasan kemiskinan, yaitu Program Penanganan Fakir Miskin melalui Motorisasi Sarana Penunjang Produksi (SAPORDI) Industri Rumah Tangga Bidang Konveksi. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Departemen Sosial RI dengan PT Ladang Sutera Indonesia (PT Lasindo) yang bertindak selaku pemberi order dan pemasaran secara kontinyu pada 29 Maret 2004.
Nota Kesepahaman itu dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama antara Depsos RI dengan PT Lasindo dengan Nomor: 21/HUK/2004 dan Nomor: 03/LSD/III/2004 yang ditandatangani langsung oleh Bachtiar Chamsyah selaku Menteri Sosial dengan Musfar Aziz selaku Direktur Utama PT Lasindo.
Adapun ruang lingkup perjanjian kerjasama mencakup 5 (lima) hal, yakni:
a. pengadaan mesin jahit;
b. pelatihan;
c. pendampingan;
d. kepastian order;
e. pemasaran.
Khusus untuk pengadaan mesin jahit, dipilih mesin jahit merk JITU BRAND LSD 9990 dan JITU BRAND LSD 9990H beserta motornya sebanyak 6.000 (enam ribu) buah yang diimport langsung dari Shanggong IMP.& EXP.CO, Ltd, Shanghai, China selaku produsen mesin jahit dengan harga Rp Rp 3.248.500,00 (tiga juta dua ratus empat puluh delapan ribu lima ratus rupiah) per buah. Anggaran yang digunakan untuk mengadakan mesin jahit tersebut adalah Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Depsos Tahun 2004.
Mengingat program ini adalah program sosial, maka Sekretaris Jendral Departemen Sosial RI mengirimkan surat No. 504/SJ/JS/XI/2004 tanggal 24 November 2004 kepada Departemen Keuangan untuk mendapatkan kemudahan dalam proses mendatangkan (import) mesin jahit tersebut. Kemudahan itu dalam bentuk pemberian pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai atas import 6.000 (enam ribu) mesin jahit dan dinamo motor oleh Depsos sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 41/KMK.010/2005.
Permasalahan
Laporan ini hanya membatasi diri atas beberapa dugaan adanya penggelembungan harga pada pengadaan 6.000 (enam ribu) mesin jahit merk JITU yang dibeli dari Cina, tanpa melihat ruang lingkup lain seperti kegiatan pelatihan, pendampingan, kepastian order dan pemasaran mengingat untuk keempat ruang lingkup kegiatan yang terakhir ini sudah dialokasikan dana tersendiri yang tidak dicampur/digabung dengan anggaran pengadaan barang/mesin jahit.
Atas berbagai kajian dan analisa terhadap proses pengadaan mesin jahit merk JITU yang dilakukan oleh PT Lasindo, kami menemukan beberapa kejanggalan yang mengarah pada tindak pidana korupsi (TPK), yakni:
A. Indikasi Penggelembungan Harga
Departemen Sosial RI telah menyepakati harga perbuah dari mesin jahit merk JITU adalah Rp 3.248.500,00 (tiga juta dua ratus empat puluh delapan ribu lima ratus rupiah). Artinya jika Depsos RI mengadakan mesin jahit sejumlah 5.500 (lima ribu lima ratus) unit, dana ABT TA. 2004 yang telah dialokasikan adalah sejumlah Rp 17.866.750.000,00 (tujuh belas milyar delapan ratus enam puluh enam juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Namun kemudian diketahui, harga pabrik yang dibeli oleh PT Lasindo sebagai importer (sekaligus rekanan proyek SAPORDI) Depsos RI kepada produsen JITU, yakni Shanggong IMP.&EXP.CO,Ltd, di Shanghai, China adalah sebagai berikut:
Dari perhitungan secara makro diatas, dapat disimpulkan bahwa diduga telah terjadi penggelembungan harga atas pengadaan mesin jahit sejumlah 5.500 unit dalam proyek SAPORDI Depsos RI senilai Rp 11.071.750.000,00 (sebelas milyar tujuh puluh satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Seharusnya harga aktual yang digunakan PT Lasindo pun bisa lebih murah mengingat Departemen Keuangan RI telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 41/KMK.010/2005 tentang Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan PPN atas Import 5.500 mesin jahit dan dynamo motor. Sesuai dengan peraturan, bea masuk untuk jenis mesin jahit rumah tangga adalah 10% dan PPN adalah 10%. Dengan demikian, harga mesin jahit setelah dibebaskan dari bea masuk dan PPN adalah sebagai berikut:
Jumlah Bea Masuk dan PPN
Jika dikurangi dengan bea masuk dan PPN yang tidak dibayarkan karena fasilitas khusus dari negara, harga mesin jahit secara keseluruhan yang diimport dari Shanghai, China seharusnya hanya Rp 5.436.000.000,00 (lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta rupiah).
Oleh karena itu, jika nilai penggelembungan dihitung dengan dasar harga aktual pembelian setelah dikurangi kewajiban bea masuk dan PPN, maka nilai kerugian negara yang dapat dihitung adalah sebagai berikut:
Mark Up Setelah Dikurangi Bea Masuk dan PPN
Nilai penggelembungan yang mencapai angka Rp 12.430.750.000,00 dari harga aktual yang hanya sekitar Rp 5.436.000.000,00 merupakan nilai fantastik karena itu berarti mencapai 228,6% dari harga wajar.
B. Tanpa Tender/Penunjukan Langsung
Sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Depsos RI dengan PT Lasindo Nomor 21/HUK/2004 dan Nomor 03/LSD/III/2004, pada Bab IV tentang Tugas dan Tanggung Jawab kedua belah pihak, disebutkan dalam pasal 5 ayat f dikatakan bahwa tugas dan tanggung jawab pihak pertama (Depsos RI) adalah menunjuk pihak kedua (PT Lasindo) sebagai pelaksana dalam pengadaan mesin jahit berkecepatan tinggi dan sekaligus sebagai mitra kerja pelaksaan program sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam surat klarifikasi yang dilayangkan oleh ICW atas penunjukan langsung tersebut, Depsos RI melalui Bachtiar Chamsyah selaku Menteri mengatakan bahwa penunjukan langsung dilakukan karena pekerjaan atau barang yang dibeli adalah spesifik, yang hanya dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten atau pekerjaan yang komplek yang hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan tehnologi khusus dan atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya. Hal itu menurut Menteri sudah sesuai dengan Keppres No 80 Tahun 2003.
Dari alasan yang diberikan pihak Depsos, ada beberapa hal yang perlu dikritisi karena lemah dasar argumentasinya.
Pertama, Menurut Depsos penunjukan langsung dibenarkan karena PT Lasindo adalah pemegang hak merk sesuai dengan sertifikat merek no D00.2001.18693.18827 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI tahun 2002.
Hasil kajian kami terhadap UU No 15 tahun 2001 tentang merek menunjukan tidak ada kaitan sama sekali antara proses pengadaan dengan dimilikinya paten merek JITU oleh PT Lasindo. UU tersebut hanya membatasi diri pada perlindungan terhadap merek tertentu yang sudah didaftarkan dari jiplakan/pemalsuan dan tindakan lain yang melanggar hak kekayaan intelektual. Sehingga argumentasi bahwa PT Lasindo memiliki hak paten merek JITU tidak menggugurkan kewajiban bagi adanya mekanisme pelelangan umum sebagaimana diperintahkan oleh Keppres No 80 Tahun 2003.
Bahkan di dalam Kepres, jika alasan Depsos penunjukan langsung itu dilakukan karena PT LASINDO memiliki hak paten merek ataupun agen tunggal pemegang merek produksi luar negeri, maka hal itu sudah melanggar ketentuan dalam Kepres No 80/2003 yang mengatur soal penyusunan dokumen pengadaan/barang/jasa ayat 7 yang menyebutkan “Spesifikasi teknis dan gambar: tidak mengarah kepada merk/produk tertentu kecuali suku cadang/komponen produk tertentu….dst”. Artinya Panitia Pengadaan Barang/Jasa proyek SAPORDI sudah mengarahkan proyek pada merek/produk tertentu.
Kedua, alasan penunjukan langsung karena pekerjaan kompleks yang hanya dilaksanakan dengan menggunakan teknologi khusus. Alasan ini juga sangat lemah argumentasinya mengingat barang yang dibeli adalah mesin jahit. Mesin jahit bukanlah produk yang dibuat dengan teknologi khusus sehingga tidak ada pihak lain yang bisa menyediakannya.
Dalam catatan kami, terdapat paling tidak 13 (tiga belas) produsen mesin jahit berskala internasional yang barangnya dipasarkan di Indonesia. Bahkan anehnya, untuk merek JITU yang menjadi produksi dari PT LASINDO tidak terlalu dikenal di pasar dalam negeri. Berikut ini daftar merek mesin jahit internasional yang beredar di Indonesia:
1. JUKI
2. SINGER
3. BROTHER
4. JANOME
5. BUTTERFLY
6. YAMATO
7. YAMATA
8. SUN STAR
9. ASAHI
10. PEGASUS
11. MARIMOTO
12. KANSAI-SP
13. HASHIMA
Hasil pengecekan kami atas suku cadang mesin jahit merek JITU produksi China ternyata disediakan oleh mesin jahit JUKI asal Jepang.
Demikian pula dari sisi harga, beragamnya merek mesin jahit yang ada akan sangat mempengaruhi harga penawaran yang disampaikan. Jika proses pengadaan mesin jahit oleh Depsos itu dilakukan dengan pelelangan umum, pastinya akan didapat harga yang lebih murah dan kompetitif, tanpa mengurangi kualitas barang yang diminta.
Dengan demikian, keputusan untuk melakukan penunjukan langsung atas pengadaan mesin jahit pada proyek SAPORDI 2004 tidak memiliki dasar yang kuat. Justru sebaliknya, keputusan untuk melakukan penunjukan langsung telah melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Adanya pelanggaran terhadap Keppres No 80 Tahun 2003 dan indikasi kerugian negara yang demikian besar dalam proyek SAPORDI 2004 di Depsos RI telah menguatkan adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK).
C. Dugaan Pelanggaran Hukum
Pengadaan 5.500 mesin jahit oleh Depsos dengan menunjuk langsung PT Lasindo terindikasi kuat merupakan tindak pidana korupsi. Setidaknya para pelaku bisa dijerat dengan Pasal 2 (1) dan pasal 3. Untuk orang non pemerintahan/ non PNS yang diduga terlibat korupsi dikenakan dengan pasal 2. Sedangkan, untuk pejabat pemerintah/ PNS seperti Menteri Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, atau panitia pengadaan dikenakan pasal 3 dan bisa berlapis dijerat dengan pasal 2.
Pasal 2
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.
Dengan melihat dua pasal diatas, pengadaan mesin jahit bisa nilai telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut.
Unsur-unsur Pasal 2
Pertama, unsur setiap orang.
Yang dimaksud dengan setiap orang menurut pasal ini adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawab pidana yang dilakukan. Berdasarkan hal ini, dalam kasus pegadaan mesin jahit pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah Menteri Bachtiar Chamsyah, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktur Utama PT Lasindo, dan panitia pengadan barang
Kedua, unsur melawan hukum.
Yang dimaksud unsur melawan hukum dalam penjelasan pasal ini meliputi unsur formal dan materiil. Melawan hukum secara formil adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan unsur perundang-undangan. Apabila UU telah mencantumkan tegas atau melarang, dan di langgar, maka unsur formil telah terpenuhi.
Berdasarkan fakta pelaksanaan, pengadaan mesin jahit itu telah mengabaikan prinsip-prinsip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/ tidak diskriminatif, serta akuntabel dan jelas melanggar Keppres no 80 tahun 2003. Pelanggaran ini bisa dilihat dari dilakukannya penunjukan langsung. Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, alasan penunjukan itu karena ada keadaan khusus. Namun, alasan itu tidak sesuai dengan aturan.
Menurut Keppres no 80 tahun 2003, pengadaan barang dan jasa diatas 50 juta harus ditenderkan kecuali ada keadaan tertentu atau keadaan khusus sehingga bisa dilakukan penunjukan langsung. Dalam pasal 17 ayat 5 disebutkan, dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
Keadaan khusus dan keadaan tertentu itu ditegaskan dalam lampiran Keppres No 80 tahun 2003. Dalam Bab I disebutkan tentang kriteria pengadaan barang/ jasa yang bisa dilakukan dengan penunjukan langsung. Untuk pengadaan barang dan jasa khusus, kriterianya diantaranya pekerjaan/ barang spesifik yang hanya bisa dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, atau pemegang hak paten. Selain itu, syarat lainnya adalah pekerjaan kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan teknologi khusus dan atau hanya ada satu penyedia yang mampu mengaplikasikannya.
Ketiga, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Kata memperkaya berarti ada penambahan kekayaan dari yang sudah ada terhadap diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam pengadaan mesin jahit ini, jelas PT Lasindo sangat diuntungkan. Perusahaan ini mengambil keuntungan tidak wajar yaitu sekitar 288 persen, yang diduga kuat ada melakukan mark-up. Adanya keuntungan yang tidak wajar itu telah memperkaya PT Lasindo, sehingga unsur ini telah terpenuhi.
Keempat, unsur merugikan keuangan negara. Pengadaan itu sudah dilakukan, uang sudah dibayarkan dari kas negara. Karena itu, unsur merugikan negara terpenuhi karena negara sudah kehilangan uang yang diperkirakan sekitar Rp 12.430.750.000,00.
Dengan terpenuhinya unsur unsur dalam pasal 2 ayat 1 maka pelaku yang terlibat bisa dinyatakan terbukti melakukan korupsi.
Unsur-unsur dalam pasal 3
(terkait dengan pejabat pemerintah/PNS)
Dalam dugaan korupsi pengadaan mesin jahit ini, ada dugaan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan kewenangan, kesempatan, jabatan dan sarana dari pejabat di Depsos sehingga merugikan keuangan negara.
Kesimpulan
1. Proyek pengadaan mesin jahit yang menggunakan dana ABT 2004 di Depsos RI diduga kuat telah terjadi penggelembungan harga yang sangat fantastis yakni mencapai Rp 12.430.750.000,00 (228,6%).
2. Telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan karena proyek pengadaan tidak dilakukan dengan pelelangan atau tender terbuka, melainkan melalui penunjukan langsung.
3. Diduga pihak-pihak yang terkait (Menteri Sosial RI, Direktur Utama PT Lasindo, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos RI, Panitia Pengadaan Mesin Jahit proyek SAPORDI Depsos RI) setidak-tidaknya mengetahui secara persis tindak pidana korupsi yang telah terjadi.
Rekomendasi
Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan proses hukum atas dugaan korupsi senilai Rp 12.430.750.000,00 yang terjadi di Depsos RI dalam proyek SAPORDI 2004, khususnya pada proyek pengadaan mesin jahit.
Catatan:
1. Jumlah 6.000 unit sesuai dengan SK Menkeu RI No. 41/KMK.010/2005 tentang Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan PPN Tidak Dipungut atas Import 6.000 mesin jahit dan dynamo motor oleh Depsos.
2. Lihat perjanjian Kerjasama Depsos dengan PT Lasindo, Bab IV Tugas dan Tanggung Jawab Pasal 5 huruf e butir (3) yang berbunyi “Menyediakan dana pendamping bagi Organisasi Sosial yang akan menangani Program dengan dukungan dana APBN dan APBD.”
3. Lihat bukti lampiran daftar harga-harga dan kualitas mesin jahit high speed yang dijual dipasaran Indonesia dan dunia. Harga ini oleh ICW sudah dikonfirmasi kebenarannya ke Bachtiar Hamsyah selaku Menteri Sosial RI.
4. Jumlah 5.500 unit sesuai dengan kontrak antara PT LASINDO dengan Shanggong IMP.&EXP.CO,Ltd.
5. TOKO Obras adalah sebuah perusahaan penyedia mesin jahit dari berbagai merek yang bertempat di Jakarta. Akan tetapi di toko ini mesin jahit merek JITU tidak tersedia
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Senin, 15 November 2010
ICW Menangi Sengketa Informasi Soal dana BOS dan DBO
ICW Menangi Sengketa Informasi Soal dana BOS dan DBO
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) ketika membacakan putusan sengketa informasi atas penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Bantuan Operasional (DBO) Senin 15 November 2010. KIP memutuskan bahwa dokumen SPJ penggunaan anggaran dana BOS dan DPO adalah terbuka. Artinya KIP menerima dan memenangkan gugatan ICW terhadap pengelola SMPN 67, SMPN 28, SMPN 84, SMPN 95 dan SMPN 190 Jakarta serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Foto: Dila
* Apakah Komisi Informasi Pusat akan Membuat Keputusan Penting dan Bersejarah? (release)
* ICW Menangi Sengketa Informasi Dana BOS dan BOP (release)
* putusan Komisi Informasi Pusat
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) ketika membacakan putusan sengketa informasi atas penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Bantuan Operasional (DBO) Senin 15 November 2010. KIP memutuskan bahwa dokumen SPJ penggunaan anggaran dana BOS dan DPO adalah terbuka. Artinya KIP menerima dan memenangkan gugatan ICW terhadap pengelola SMPN 67, SMPN 28, SMPN 84, SMPN 95 dan SMPN 190 Jakarta serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Foto: Dila
* Apakah Komisi Informasi Pusat akan Membuat Keputusan Penting dan Bersejarah? (release)
* ICW Menangi Sengketa Informasi Dana BOS dan BOP (release)
* putusan Komisi Informasi Pusat
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Macan Ompong Pengawas Haji
Dewan Perwakilan Rakyat mengakui banyaknya anggota rombongan ke Mekah yang tak termasuk dalam Tim Pengawas Haji. Mereka terdiri atas para anggota Dewan komisi lain yang tak mengurusi haji serta para kerabat dan sanak saudara anggota tim (Koran Tempo, 5 November). Selain membawa anggota keluarga, hasil penelitian Indonesia Corruption Watch memperlihatkan bahwa anggota Komisi VIII DPR pun pernah menerima fasilitas dari Kementerian Agama ketika melakukan pengawasan haji pada 2009 berupa akomodasi di Hotel Almadina Palace, Jeddah, senilai 8.675 riyal dan bantuan transportasi di Arab Saudi. Sedangkan pada 2005, uang perjalanan dinas masing-masing sebesar US$ 2.845.
Cara DPR mengawasi penyelenggaraan haji sangat mengecewakan. Menerima uang dan fasilitas dari Kementerian Agama yang mereka awasi jelas mengganggu independensi DPR. Selain itu, pengawasan hanya berfokus pada saat pelaksanaan ibadah, padahal titik paling rawan justru pada saat penentuan ongkos haji dan pengadaan. Apalagi, ketika melakukan pengawasan, konsentrasi mereka terpecah karena nyambi menemani istri atau suami menunaikan ibadah. DPR tidak bisa diandalkan dapat melakukan pengawasan dengan baik. Karena itu, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas dan bebas dari korupsi, adanya lembaga pengawas independen menjadi kebutuhan mendesak.
Komisi pengawas
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dimuat ketentuan mengenai pembentukan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). KPHI merupakan lembaga mandiri yang bertugas mengawasi penyelenggaraan ibadah haji. Tugas utamanya adalah melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.
Ada empat fungsi KPHI. Pertama, memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia; kedua, menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat; ketiga, menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji; keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah Haji.
Dari sisi komposisi, KPHI terdiri atas sembilan anggota. Enam orang dari unsur masyarakat dan tiga orang unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat. Sedangkan unsur pemerintah ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji.
Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, KPHI bertanggung jawab kepada presiden dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada presiden dan DPR paling sedikit satu kali dalam satu tahun. Masa kerja anggota KPHI selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Masalahnya, independensi dan kemampuan anggota KPHI sangat patut dipertanyakan. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, anggota "pesanan". Berdasarkan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji, KPHI terdiri atas sembilan anggota. Tapi komposisinya sangat aneh. Dari sembilan anggota, tiga anggota sudah menjadi "jatah" pemerintah (kementerian/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji). Sisanya, tiga anggota yang berasal dari unsur masyarakat, pun sudah ditetapkan dari kelompok/organisasi tertentu, seperti MUI.
Komposisi KPHI hampir mirip seperti komposisi Dewan Pengawas Badan Pengelola DAU. Dalam Dewan Pengawas Badan Pengelola DAU, selain perwakilan dari Kementerian Agama, anggota lain berasal dari MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, maupun Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Kenyataannya, mereka tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi dengan baik. Dewan Pengawas hanya menjadi pajangan dan legitimasi bahwa tata kelola pengelolaan DAU sudah bagus. Akibatnya, DAU menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya korupsi. Bahkan dua mantan Menteri Agama, Said Agil al-Munawar dan Maftuh Basyuni, diduga memiliki keterkaitan dengan penyelewengan DAU.
KPHI bisa dipastikan akan mengulangi kegagalan dewan pengawas BP DAU. KPHI hanya akan menjadi "macan ompong" dan tidak akan bisa bersikap kritis terhadap Kementerian Agama. KPHI hanya akan menjadi pembenaran terhadap Kementerian Agama bahwa mereka telah mereformasi penyelenggaraan haji.
Penyebab kedua, kualitas KPHI. Berdasarkan latar belakang calon anggota KPHI, pemerintah dan ormas Islam, kemampuan mereka melakukan pengawasan patut dipertanyakan. Calon anggota dari pemerintah sudah bisa dipastikan tidak akan bisa bersikap kritis kepada atasannya. Sedangkan calon anggota dari ormas Islam tidak memiliki pengalaman dalam melakukan pengawasan, terutama dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, akal-akalan proses pemilihan. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat pertimbangan DPR. Artinya, tanpa ada persetujuan dari Menteri Agama, siapa pun tidak akan lolos. Tentu saja Menteri Agama tidak akan memilih calon anggota yang kritis. Malah, dalam seleksi calon anggota KPHI pada 18-26 Oktober 2010, Menteri Agama Suryadharma Ali turun langsung menjadi ketua tim seleksi dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai wakilnya.
Selain itu, walau pengumuman resmi Kementerian Agama bahwa seleksi dilakukan pada 18-26 Oktober 2010, di berbagai media Menteri Agama menyatakan sudah menerima beberapa calon anggota. Pada 4 Oktober 2010, Menteri Agama menyatakan nama-nama calon anggota tim pengawas haji sudah masuk. Para calon tersebut berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat (www.bataviase.co.id).
Hal tersebut sangat aneh. Sebab, pengumuman resmi mengenai rekrutmen anggota KPHI baru dilakukan dua minggu kemudian. Ini makin memperkuat kecurigaan bahwa Kementerian Agama sudah merancang siapa saja yang akan terpilih sebagai anggota KPHI. Sudah bisa dipastikan bahwa KPHI hanya akan menjadi "boneka" Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Walau adanya Komisi Pengawas Haji menjadi kebutuhan mendesak, dengan komposisi dan cara seleksi seperti sekarang, lembaga tersebut tidak akan banyak membantu memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah dan DPR yang menyusun UU penyelenggaraan haji sepertinya sengaja membuat KPHI mandul. Karena itu, UU Penyelenggaraan Haji, yang menjadi dasar pembentukan KPHI, harus ditinjau ulang agar komposisi anggotanya independen serta proses pemilihannya lebih terbuka dan independen.
Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Cara DPR mengawasi penyelenggaraan haji sangat mengecewakan. Menerima uang dan fasilitas dari Kementerian Agama yang mereka awasi jelas mengganggu independensi DPR. Selain itu, pengawasan hanya berfokus pada saat pelaksanaan ibadah, padahal titik paling rawan justru pada saat penentuan ongkos haji dan pengadaan. Apalagi, ketika melakukan pengawasan, konsentrasi mereka terpecah karena nyambi menemani istri atau suami menunaikan ibadah. DPR tidak bisa diandalkan dapat melakukan pengawasan dengan baik. Karena itu, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas dan bebas dari korupsi, adanya lembaga pengawas independen menjadi kebutuhan mendesak.
Komisi pengawas
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dimuat ketentuan mengenai pembentukan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). KPHI merupakan lembaga mandiri yang bertugas mengawasi penyelenggaraan ibadah haji. Tugas utamanya adalah melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.
Ada empat fungsi KPHI. Pertama, memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia; kedua, menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat; ketiga, menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji; keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah Haji.
Dari sisi komposisi, KPHI terdiri atas sembilan anggota. Enam orang dari unsur masyarakat dan tiga orang unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat. Sedangkan unsur pemerintah ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji.
Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, KPHI bertanggung jawab kepada presiden dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada presiden dan DPR paling sedikit satu kali dalam satu tahun. Masa kerja anggota KPHI selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Masalahnya, independensi dan kemampuan anggota KPHI sangat patut dipertanyakan. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, anggota "pesanan". Berdasarkan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji, KPHI terdiri atas sembilan anggota. Tapi komposisinya sangat aneh. Dari sembilan anggota, tiga anggota sudah menjadi "jatah" pemerintah (kementerian/instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji). Sisanya, tiga anggota yang berasal dari unsur masyarakat, pun sudah ditetapkan dari kelompok/organisasi tertentu, seperti MUI.
Komposisi KPHI hampir mirip seperti komposisi Dewan Pengawas Badan Pengelola DAU. Dalam Dewan Pengawas Badan Pengelola DAU, selain perwakilan dari Kementerian Agama, anggota lain berasal dari MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, maupun Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Kenyataannya, mereka tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi dengan baik. Dewan Pengawas hanya menjadi pajangan dan legitimasi bahwa tata kelola pengelolaan DAU sudah bagus. Akibatnya, DAU menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya korupsi. Bahkan dua mantan Menteri Agama, Said Agil al-Munawar dan Maftuh Basyuni, diduga memiliki keterkaitan dengan penyelewengan DAU.
KPHI bisa dipastikan akan mengulangi kegagalan dewan pengawas BP DAU. KPHI hanya akan menjadi "macan ompong" dan tidak akan bisa bersikap kritis terhadap Kementerian Agama. KPHI hanya akan menjadi pembenaran terhadap Kementerian Agama bahwa mereka telah mereformasi penyelenggaraan haji.
Penyebab kedua, kualitas KPHI. Berdasarkan latar belakang calon anggota KPHI, pemerintah dan ormas Islam, kemampuan mereka melakukan pengawasan patut dipertanyakan. Calon anggota dari pemerintah sudah bisa dipastikan tidak akan bisa bersikap kritis kepada atasannya. Sedangkan calon anggota dari ormas Islam tidak memiliki pengalaman dalam melakukan pengawasan, terutama dalam pengelolaan keuangan.
Ketiga, akal-akalan proses pemilihan. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat pertimbangan DPR. Artinya, tanpa ada persetujuan dari Menteri Agama, siapa pun tidak akan lolos. Tentu saja Menteri Agama tidak akan memilih calon anggota yang kritis. Malah, dalam seleksi calon anggota KPHI pada 18-26 Oktober 2010, Menteri Agama Suryadharma Ali turun langsung menjadi ketua tim seleksi dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai wakilnya.
Selain itu, walau pengumuman resmi Kementerian Agama bahwa seleksi dilakukan pada 18-26 Oktober 2010, di berbagai media Menteri Agama menyatakan sudah menerima beberapa calon anggota. Pada 4 Oktober 2010, Menteri Agama menyatakan nama-nama calon anggota tim pengawas haji sudah masuk. Para calon tersebut berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat (www.bataviase.co.id).
Hal tersebut sangat aneh. Sebab, pengumuman resmi mengenai rekrutmen anggota KPHI baru dilakukan dua minggu kemudian. Ini makin memperkuat kecurigaan bahwa Kementerian Agama sudah merancang siapa saja yang akan terpilih sebagai anggota KPHI. Sudah bisa dipastikan bahwa KPHI hanya akan menjadi "boneka" Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Walau adanya Komisi Pengawas Haji menjadi kebutuhan mendesak, dengan komposisi dan cara seleksi seperti sekarang, lembaga tersebut tidak akan banyak membantu memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah dan DPR yang menyusun UU penyelenggaraan haji sepertinya sengaja membuat KPHI mandul. Karena itu, UU Penyelenggaraan Haji, yang menjadi dasar pembentukan KPHI, harus ditinjau ulang agar komposisi anggotanya independen serta proses pemilihannya lebih terbuka dan independen.
Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Korupsi dalam Pemberantasan Illegal Logging: Analisis Kinerja dan Alternative Kerangka Hukum
Salah satu langkah mendorong proses penegakan hukum dalam kasus illegal logging dapat berjalan secara optimal, maka partisipasi masyarakat menjadi penting untuk ditingkatkan. Partispasi masyarakat dalam isu kehutanan diakui dalam UU No. 41 tentang Kehutanan, khususnya dalam pasal 68. Namun sejauh ini tidak dimanfataankan secara maksimal. Karena partisipasi masyarakat diharapkan dapat mendorong kebijakan antikorupsi dalam sektor kehutanan dan proses penegakan hukum, serta pemberantasan illegal logging di Indonesia.
Buku ini merupakan hasil penelitian mengani kerangka hukum dibidang kehutanan yang dilakukan oleh ICW. ICW mencoba mencermati kelamahan dalam UU No. 19/2004 tentang Kehutanan sekaligus mencari alternatif aturan hukum yang lain sehingga dapat mnejerat pelaku illegal logging dengan maksimal.
Fenomena yang penting dicermati dalam kasus-kasus disektor kehutanan khususnya illegal logging menunjukkan bahwa secara umum pelaku dibebaskan karena hanya terjerat UU Kehutanan. Sebagai satu alternatif hukum, penelitian ini juga mengkaji upaya menjerat pelaku illegal logging tidak saja dengan UU Kehutanan, namun dapat dijerat dengan UU lain seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Banyaknya kasus illegal logging yang dibebaskan pengadilan setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktek illegal logging yang dilakukan oleh pemerintah dan jajaran dibawahnya pada kenyataannya tidak mendapat dukungan yang maksimal dari pihak yudikatif, dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah giat dalam membarantas praktek illegal logging, pihak pengadilan justru giat dalam membebaskan pelaku illegal logging.
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Buku ini merupakan hasil penelitian mengani kerangka hukum dibidang kehutanan yang dilakukan oleh ICW. ICW mencoba mencermati kelamahan dalam UU No. 19/2004 tentang Kehutanan sekaligus mencari alternatif aturan hukum yang lain sehingga dapat mnejerat pelaku illegal logging dengan maksimal.
Fenomena yang penting dicermati dalam kasus-kasus disektor kehutanan khususnya illegal logging menunjukkan bahwa secara umum pelaku dibebaskan karena hanya terjerat UU Kehutanan. Sebagai satu alternatif hukum, penelitian ini juga mengkaji upaya menjerat pelaku illegal logging tidak saja dengan UU Kehutanan, namun dapat dijerat dengan UU lain seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Banyaknya kasus illegal logging yang dibebaskan pengadilan setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktek illegal logging yang dilakukan oleh pemerintah dan jajaran dibawahnya pada kenyataannya tidak mendapat dukungan yang maksimal dari pihak yudikatif, dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah giat dalam membarantas praktek illegal logging, pihak pengadilan justru giat dalam membebaskan pelaku illegal logging.
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Pemberantasan Korupsi Minus Peran Negara
Pada 9–13 November tahun ini digelar International Anti Corruption Conference (IACC) yang merupakan konferensi global antikorupsi. Dalam konferensi ini berbagai macam elemen antikorupsi bertemu,mulai dari aktivis civil society, akademisi, peneliti, perwakilan pemerintah, serta pelibatan sektor swasta.
Tujuan dari konferensi ini adalah untuk membangun komitmen bersama gerakan antikorupsi dalam spektrum global. Tekanan pada globalisasi pemberantasan korupsi mengindikasikan semakin kuatnya perhatian internasional pada isu korupsi, sekaligus membuka peluang yang kian besar bagi kerja sama internasional dalam memberantas korupsi. Dalam IACC kali ini tema besar yang diangkat adalah Restoring Trust: Global Action for Transparency.
Tema ini menjadi pokok pembicaraan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengembalikan kepercayaan publik bukan tugas yang mudah karena membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga sektor swasta dan civil society. Indonesia sendiri, melalui perwakilan beberapa NGO seperti Transparency Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), menyampaikan beberapa isu krusial yang menjadi persoalan serius dalam mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia.Selain perwakilan NGO Indonesia,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diundang sebagai salah satu narasumber sekaligus peserta. Sayangnya tidak ada perwakilan Pemerintah Indonesia yang mengikuti agenda akbar tersebut.
Ironi Komisi Independen
Membaca perkembangan terakhir agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,terdapat dua isu pokok yang secara signifikan memengaruhi keberhasilan sekaligus kegagalan program pemberantasan korupsi. Pertama, fenomena pelemahan komisi independen KPK. Dalam konteks global,upaya untuk memandulkan KPK bukan hanya menjadi persoalan dalam negeri semata.
Di beberapa negara lain seperti Korea Selatan,Nigeria,dan Thailand, masing-masing komisi independen pemberantas korupsi menghadapi tantangan serius yang berhubungan dengan isu pelemahan. Di Nigeria,Nuhu Nibadu,salah seorang anggota komisi independen yang berwenang menangani korupsi harus melarikan diri keluar negeri karena menghadapi intimidasi dan ancaman pembunuhan dari politisi setempat. Hal itu disebabkan Ruhu dan rekan- rekannya membongkar kasus korupsi yang melibatkan politisi berpengaruh di Nigeria.
Di Thailand, di mana IACC digelar tahun ini, menghadapi persoalan yang sedikit berbeda. Para anggota komisi independennya dicopot oleh penguasa Thailand pasca-Thaksin Shinawatra. Sementara di Korea Selatan, komisi antikorupsinya dilebur dengan lembaga yang sudah ada dan ditempatkan di bawah kendali presiden.Untuk yang terakhir, alasannya sungguh tidak masuk akal karena pemberantasan korupsi dianggap bisa mengganggu akselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Sesungguhnya realitas pelemahan KPK merupakan sebuah fakta yang ironis karena dalam konteks global komisi independen sudah disepakati sebagai jawaban atas mandulnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Bahkan dalam konferensi negara peserta konvensi UNCAC yang diselenggarakan di Doha,Qatar,November 2009 lalu, salah satu rekomendasinya adalah peningkatan tanggung jawab negara peserta untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat lembaga antikorupsi yang independen.
Selain itu, salah satu prinsip utama konvensi UNCAC adalah menempatkan komisi independen pemberantasan korupsi sebagai lembaga yang tetap,bukan ad hoc. Dalam konteks Indonesia,KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya justru dilemahkan secara politik. Lingkungan politik tidak mendukung sama sekali keberlanjutan KPK sehingga berimbas pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada tahun 2010 tidak beranjak dari skor 2,8, atau sama dengan tahun sebelumnya.
Demikian halnya wacana politik dominan selalu mengasumsikan bahwa secara hukum KPK adalah lembaga sementara.Eksistensinya bisa dihapuskan sepanjang kepolisian dan kejaksaan sudah mampu memberantas korupsi secara efektif. Kedua, isu pokok yang disampaikan dalam konferensi oleh delegasi Indonesia adalah kegagalan pemerintah dalam mengomandoi agenda pemberantasan korupsi.
Agenda strategis dan penting yang seharusnya dapat berjalan jika ada kemauan politik pemerintah adalah reformasi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Catatan merah kedua lembaga ini sudah banyak dikoleksi. Terakhir dalam kasus Gayus Tambunan, salah satu terdakwa kasus mafia pajak yang seharusnya mendekam di penjara Brimob Kelapa Dua, Depok, justru bisa berlenggang kaki ke Bali untuk menyaksikan pertandingan tenis dunia.
Bertubi-tubinya fakta atas bobroknya moral aparatur penegak hukum seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.Tentu tidak pada tempatnya kita mengatakan pemerintah takut pada aparat penegak hukum. Barangkali yang lebih tepat, memperbaiki aparat penegak hukum adalah prioritas kerja yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah.
Hilangnya Golden Moment
Sudah banyak momentum perbaikan yang gagal dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden. Di luar kasus Gayus yang baru terangkat, kasus rekening gendut di Mabes Polri, kasus penangkapan Urip Tri Gunawan,kasus dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai macam praktik kejahatan merupakan golden momentyang hilang karena sikap pemerintah yang tidak jelas.
Sebaliknya,upaya mendorong reformasi penegakan hukum oleh pemerintah masih terlihat kurang serius, terutama saat Presiden lebih memilih untuk mengangkat Kapolri baru Timur Pradopo yang memiliki persoalan latar belakang pada isu penegakan HAM di Indonesia dibandingkan yang lain. Pertimbangannya sungguh sangat politis, sekedar untuk menjaga suhu politik di parlemen tidak bergejolak. Presiden memang telah membentuk Satgas Mafia Hukum, akan tetapi kinerja Satgas Mafia Hukum tidak optimal dan gagal menyentuh akar masalah mafia hukum dan hanya menjadi alat pencitraan pemerintah.
Harus ada keberanian dari Presiden untuk menggebrak dan mengambil alih tongkat komando pemberantasan korupsi. Demikian halnya dengan isu reformasi birokrasi yang dalam survei KPK tahun 2010 tidak mengalami kemajuan.KPK baru saja melansir hasilsurveiIndeksIntegritasSektor Publik yang kesimpulannya mengecewakan. Dari skala integritas tertinggi 10, sektor publik hanya mendapatkan angka rata-rata skor 5,42 , atau turun dibandingkan skor tahun lalu.
Hasil survei itu menggambarkan betapa buruknya kinerja birokrasi dan tingkat korupsi di lembaga birokrasi yang tidak berkurang. Ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata kenaikan pendapatan (renumerasi) pegawai negeri bukan jawaban yang tepat untuk menjalankan agenda reformasi birokrasi. Terakhir,Presiden juga belum menandatangani Stranas Pemberantasan Korupsi yang sudah disusun sejak awal pemerintahan SBY-Boediono terbentuk.
Padahal, Stranas Pemberantasan Korupsi merupakan guidelines yang disusun oleh pemerintah untuk mengawal agenda pemberantasan korupsi. Dalam situasi negara acuh tak acuh terhadap pemberantasan korupsi, tampaknya sulit memperbaiki kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.(*)
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Harian Seputar Indonesia, 14 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Tujuan dari konferensi ini adalah untuk membangun komitmen bersama gerakan antikorupsi dalam spektrum global. Tekanan pada globalisasi pemberantasan korupsi mengindikasikan semakin kuatnya perhatian internasional pada isu korupsi, sekaligus membuka peluang yang kian besar bagi kerja sama internasional dalam memberantas korupsi. Dalam IACC kali ini tema besar yang diangkat adalah Restoring Trust: Global Action for Transparency.
Tema ini menjadi pokok pembicaraan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengembalikan kepercayaan publik bukan tugas yang mudah karena membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga sektor swasta dan civil society. Indonesia sendiri, melalui perwakilan beberapa NGO seperti Transparency Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), menyampaikan beberapa isu krusial yang menjadi persoalan serius dalam mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia.Selain perwakilan NGO Indonesia,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diundang sebagai salah satu narasumber sekaligus peserta. Sayangnya tidak ada perwakilan Pemerintah Indonesia yang mengikuti agenda akbar tersebut.
Ironi Komisi Independen
Membaca perkembangan terakhir agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,terdapat dua isu pokok yang secara signifikan memengaruhi keberhasilan sekaligus kegagalan program pemberantasan korupsi. Pertama, fenomena pelemahan komisi independen KPK. Dalam konteks global,upaya untuk memandulkan KPK bukan hanya menjadi persoalan dalam negeri semata.
Di beberapa negara lain seperti Korea Selatan,Nigeria,dan Thailand, masing-masing komisi independen pemberantas korupsi menghadapi tantangan serius yang berhubungan dengan isu pelemahan. Di Nigeria,Nuhu Nibadu,salah seorang anggota komisi independen yang berwenang menangani korupsi harus melarikan diri keluar negeri karena menghadapi intimidasi dan ancaman pembunuhan dari politisi setempat. Hal itu disebabkan Ruhu dan rekan- rekannya membongkar kasus korupsi yang melibatkan politisi berpengaruh di Nigeria.
Di Thailand, di mana IACC digelar tahun ini, menghadapi persoalan yang sedikit berbeda. Para anggota komisi independennya dicopot oleh penguasa Thailand pasca-Thaksin Shinawatra. Sementara di Korea Selatan, komisi antikorupsinya dilebur dengan lembaga yang sudah ada dan ditempatkan di bawah kendali presiden.Untuk yang terakhir, alasannya sungguh tidak masuk akal karena pemberantasan korupsi dianggap bisa mengganggu akselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Sesungguhnya realitas pelemahan KPK merupakan sebuah fakta yang ironis karena dalam konteks global komisi independen sudah disepakati sebagai jawaban atas mandulnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Bahkan dalam konferensi negara peserta konvensi UNCAC yang diselenggarakan di Doha,Qatar,November 2009 lalu, salah satu rekomendasinya adalah peningkatan tanggung jawab negara peserta untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat lembaga antikorupsi yang independen.
Selain itu, salah satu prinsip utama konvensi UNCAC adalah menempatkan komisi independen pemberantasan korupsi sebagai lembaga yang tetap,bukan ad hoc. Dalam konteks Indonesia,KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya justru dilemahkan secara politik. Lingkungan politik tidak mendukung sama sekali keberlanjutan KPK sehingga berimbas pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada tahun 2010 tidak beranjak dari skor 2,8, atau sama dengan tahun sebelumnya.
Demikian halnya wacana politik dominan selalu mengasumsikan bahwa secara hukum KPK adalah lembaga sementara.Eksistensinya bisa dihapuskan sepanjang kepolisian dan kejaksaan sudah mampu memberantas korupsi secara efektif. Kedua, isu pokok yang disampaikan dalam konferensi oleh delegasi Indonesia adalah kegagalan pemerintah dalam mengomandoi agenda pemberantasan korupsi.
Agenda strategis dan penting yang seharusnya dapat berjalan jika ada kemauan politik pemerintah adalah reformasi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Catatan merah kedua lembaga ini sudah banyak dikoleksi. Terakhir dalam kasus Gayus Tambunan, salah satu terdakwa kasus mafia pajak yang seharusnya mendekam di penjara Brimob Kelapa Dua, Depok, justru bisa berlenggang kaki ke Bali untuk menyaksikan pertandingan tenis dunia.
Bertubi-tubinya fakta atas bobroknya moral aparatur penegak hukum seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.Tentu tidak pada tempatnya kita mengatakan pemerintah takut pada aparat penegak hukum. Barangkali yang lebih tepat, memperbaiki aparat penegak hukum adalah prioritas kerja yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah.
Hilangnya Golden Moment
Sudah banyak momentum perbaikan yang gagal dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden. Di luar kasus Gayus yang baru terangkat, kasus rekening gendut di Mabes Polri, kasus penangkapan Urip Tri Gunawan,kasus dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai macam praktik kejahatan merupakan golden momentyang hilang karena sikap pemerintah yang tidak jelas.
Sebaliknya,upaya mendorong reformasi penegakan hukum oleh pemerintah masih terlihat kurang serius, terutama saat Presiden lebih memilih untuk mengangkat Kapolri baru Timur Pradopo yang memiliki persoalan latar belakang pada isu penegakan HAM di Indonesia dibandingkan yang lain. Pertimbangannya sungguh sangat politis, sekedar untuk menjaga suhu politik di parlemen tidak bergejolak. Presiden memang telah membentuk Satgas Mafia Hukum, akan tetapi kinerja Satgas Mafia Hukum tidak optimal dan gagal menyentuh akar masalah mafia hukum dan hanya menjadi alat pencitraan pemerintah.
Harus ada keberanian dari Presiden untuk menggebrak dan mengambil alih tongkat komando pemberantasan korupsi. Demikian halnya dengan isu reformasi birokrasi yang dalam survei KPK tahun 2010 tidak mengalami kemajuan.KPK baru saja melansir hasilsurveiIndeksIntegritasSektor Publik yang kesimpulannya mengecewakan. Dari skala integritas tertinggi 10, sektor publik hanya mendapatkan angka rata-rata skor 5,42 , atau turun dibandingkan skor tahun lalu.
Hasil survei itu menggambarkan betapa buruknya kinerja birokrasi dan tingkat korupsi di lembaga birokrasi yang tidak berkurang. Ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata kenaikan pendapatan (renumerasi) pegawai negeri bukan jawaban yang tepat untuk menjalankan agenda reformasi birokrasi. Terakhir,Presiden juga belum menandatangani Stranas Pemberantasan Korupsi yang sudah disusun sejak awal pemerintahan SBY-Boediono terbentuk.
Padahal, Stranas Pemberantasan Korupsi merupakan guidelines yang disusun oleh pemerintah untuk mengawal agenda pemberantasan korupsi. Dalam situasi negara acuh tak acuh terhadap pemberantasan korupsi, tampaknya sulit memperbaiki kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.(*)
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Harian Seputar Indonesia, 14 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Mewaspadai Penyimpangan Dana Bencana
Bertubi-tubi bencana menimpa negeri kita, antara lain banjir bandang Wasior, gempa disusul tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat bencana tersebut, sebagian besar warga yang jadi korban harus kehilangan banyak hal, dari harta benda, tempat tinggal, pekerjaan, sumber penghidupan, sampai korban nyawa. Demikian pula fasilitas sosial dan fasilitas umum turut rusak akibat bencana alam.
Secara umum, pendekatan dalam menangani bencana alam disusun dalam dua skenario besar, yakni masa tanggap darurat serta masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Untuk menjamin kedua skenario ini berjalan baik, tentu dibutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit. Baik untuk keperluan mengantisipasi penyakit yang kerap muncul dalam masa pengungsian; kebutuhan sehari-hari pengungsi; tempat tinggal sementara; bantuan rehabilitasi psikologis, terutama untuk korban yang rentan, yakni anak-anak dan orang tua; maupun untuk membangun kembali berbagai jenis infrastruktur yang rusak.
Pemerintah, baik melalui anggaran pendapatan dan belanja negara maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah, setiap tahun selalu mengalokasikan anggaran untuk antisipasi bencana. Cukup atau tidaknya anggaran yang disediakan sangat bergantung pada besar-kecil dan sedikit-banyaknya bencana alam yang terjadi. Semakin besar dan semakin massif bencana alam, tentu akan semakin banyak kebutuhan anggaran yang harus dipenuhi. Klasifikasi bencana, yakni bencana daerah atau bencana nasional, akan cukup membantu dalam mengkalkulasi kebutuhan finansial yang harus disediakan.
Beruntung, selain merupakan kewajiban dari negara untuk menangani bencana, semangat voluntary warga masyarakat Indonesia yang diwujudkan dalam berbagai macam bentuk simpati, baik sumbangan tenaga, doa, maupun dana, cukup meringankan beban korban bencana. Bahu-membahu, semangat people to people yang besar telah melahirkan energi positif untuk menanggung beban bencana bersama-sama. Berbagai badan hukum swasta juga membuka dompet kemanusiaan untuk menampung dan menyalurkan bantuan yang mengalir dari warga masyarakat umum.
Tentu saja, di luar persoalan bagaimana menangani secara cepat dan tanggap dampak langsung bencana, baik yang bersumber dari dana APBN/APBD maupun dana publik, isu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana bantuan juga harus diperhatikan. Hal ini menjadi isu penting mengingat dua hal. Pertama, korupsi dana bantuan bencana maupun dana penanganan konflik di Indonesia kerap terjadi, baik sejak konflik Maluku, Poso, Sampit, maupun gempa Liwa, Lampung, gempa Yogya dan Klaten, tsunami di Pangandaran, serta tsunami terbesar di Aceh. Kedua, korupsi yang terjadi pada dana bantuan bencana dan penanganan konflik akan semakin mendorong tingkat keparahan dampak bencana.
Modus
Korupsi dana bantuan menjadi lebih rentan terjadi karena situasi yang mendukungnya. Keadaan darurat kerap memaksa penyaluran dana bantuan dilakukan tanpa mengikuti kaidah administratif yang baik. Berbagai macam aturan main yang secara paksa harus diterapkan oleh pengguna anggaran negara dalam situasi normal tidak berlaku dalam situasi krisis. Terlebih dana publik yang dikelola oleh berbagai elemen masyarakat hampir tidak dipandu oleh mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang memadai.
Dalam konteks dana APBN/APBD, titik rentan korupsi dana bantuan ditunjukkan dalam berbagai modusnya. Berdasarkan pengamatan Indonesia Corruption Watch selama menangani pengaduan dugaan korupsi dana bantuan, paling tidak terdapat empat modus korupsi yang kerap terjadi.
Modus pertama, penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Di Klaten, Jawa Tengah, jumlah penduduk setelah gempa bumi justru menjadi lebih besar daripada data administrasi sebelum gempa. Menggelembungkan data jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan lebih besar dari yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana bantuan berdasarkan angka nyata dan angka manipulasi.
Kedua, penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai dalih, kerap aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas dana bantuan, dan ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan. Hasilnya, warga korban dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak benar.
Modus ketiga adalah proyek fiktif. Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Dobel alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang korup menjadi salah satu faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk satu proyek pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan oleh dua instansi yang berbeda.
Modus terakhir adalah wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun kembali infrastruktur serta pengadaan sarana dan prasarana pascabencana. Banyak gedung, jalan, rumah pengungsi, serta fasilitas sosial dan umum lainnya yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah ditentukan. Dengan memanfaatkan situasi darurat, tiadanya mekanisme tender dalam pengerjaan proyek pemerintah telah memberi kontribusi bagi terjadinya salah urus dalam penanganan proyek. Bahkan terkadang aparat birokrasi yang mengendalikan pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi terlibat sekaligus sebagai kontraktor.
Di luar rentannya korupsi APBN/APBD yang dialokasikan untuk bantuan bencana, dana publik yang dikelola oleh berbagai badan hukum swasta juga sangat potensial dikorupsi. Terlebih tidak ada satu pun aturan main yang telah dibuat sebagai panduan dalam pengelolaan dana publik untuk keperluan penanganan bencana di Indonesia. Transparan atau tidaknya pengelolaan dana publik sangat bergantung pada sistem internal yang dirancang oleh badan hukum swasta terkait. Akuntabel atau tidaknya penggunaan dana publik yang dikumpulkan untuk membantu korban bencana sangat berpulang dari kemauan baik pengelolanya. Padahal besarnya dana publik yang dikumpulkan untuk membantu bencana alam bisa melampaui jumlah yang dialokasikan negara.
Karena itu, sudah saatnya dipikirkan bagaimana dana publik yang besar tersebut bisa dikelola secara akuntabel dan transparan melalui instrumen hukum. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah Dewan Perwakilan Rakyat mengingat domain penyusunan regulasi ada di tangan mereka. Paling tidak, regulasi mengenai tata kelola yang baik dana publik dapat menjadi rambu-rambu bersama para pejuang kemanusiaan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka sekaligus meminimalkan para petualang yang hendak memanfaatkan situasi bencana untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 15 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Secara umum, pendekatan dalam menangani bencana alam disusun dalam dua skenario besar, yakni masa tanggap darurat serta masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Untuk menjamin kedua skenario ini berjalan baik, tentu dibutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit. Baik untuk keperluan mengantisipasi penyakit yang kerap muncul dalam masa pengungsian; kebutuhan sehari-hari pengungsi; tempat tinggal sementara; bantuan rehabilitasi psikologis, terutama untuk korban yang rentan, yakni anak-anak dan orang tua; maupun untuk membangun kembali berbagai jenis infrastruktur yang rusak.
Pemerintah, baik melalui anggaran pendapatan dan belanja negara maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah, setiap tahun selalu mengalokasikan anggaran untuk antisipasi bencana. Cukup atau tidaknya anggaran yang disediakan sangat bergantung pada besar-kecil dan sedikit-banyaknya bencana alam yang terjadi. Semakin besar dan semakin massif bencana alam, tentu akan semakin banyak kebutuhan anggaran yang harus dipenuhi. Klasifikasi bencana, yakni bencana daerah atau bencana nasional, akan cukup membantu dalam mengkalkulasi kebutuhan finansial yang harus disediakan.
Beruntung, selain merupakan kewajiban dari negara untuk menangani bencana, semangat voluntary warga masyarakat Indonesia yang diwujudkan dalam berbagai macam bentuk simpati, baik sumbangan tenaga, doa, maupun dana, cukup meringankan beban korban bencana. Bahu-membahu, semangat people to people yang besar telah melahirkan energi positif untuk menanggung beban bencana bersama-sama. Berbagai badan hukum swasta juga membuka dompet kemanusiaan untuk menampung dan menyalurkan bantuan yang mengalir dari warga masyarakat umum.
Tentu saja, di luar persoalan bagaimana menangani secara cepat dan tanggap dampak langsung bencana, baik yang bersumber dari dana APBN/APBD maupun dana publik, isu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana bantuan juga harus diperhatikan. Hal ini menjadi isu penting mengingat dua hal. Pertama, korupsi dana bantuan bencana maupun dana penanganan konflik di Indonesia kerap terjadi, baik sejak konflik Maluku, Poso, Sampit, maupun gempa Liwa, Lampung, gempa Yogya dan Klaten, tsunami di Pangandaran, serta tsunami terbesar di Aceh. Kedua, korupsi yang terjadi pada dana bantuan bencana dan penanganan konflik akan semakin mendorong tingkat keparahan dampak bencana.
Modus
Korupsi dana bantuan menjadi lebih rentan terjadi karena situasi yang mendukungnya. Keadaan darurat kerap memaksa penyaluran dana bantuan dilakukan tanpa mengikuti kaidah administratif yang baik. Berbagai macam aturan main yang secara paksa harus diterapkan oleh pengguna anggaran negara dalam situasi normal tidak berlaku dalam situasi krisis. Terlebih dana publik yang dikelola oleh berbagai elemen masyarakat hampir tidak dipandu oleh mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang memadai.
Dalam konteks dana APBN/APBD, titik rentan korupsi dana bantuan ditunjukkan dalam berbagai modusnya. Berdasarkan pengamatan Indonesia Corruption Watch selama menangani pengaduan dugaan korupsi dana bantuan, paling tidak terdapat empat modus korupsi yang kerap terjadi.
Modus pertama, penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Di Klaten, Jawa Tengah, jumlah penduduk setelah gempa bumi justru menjadi lebih besar daripada data administrasi sebelum gempa. Menggelembungkan data jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan lebih besar dari yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana bantuan berdasarkan angka nyata dan angka manipulasi.
Kedua, penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai dalih, kerap aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas dana bantuan, dan ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan. Hasilnya, warga korban dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak benar.
Modus ketiga adalah proyek fiktif. Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Dobel alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang korup menjadi salah satu faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk satu proyek pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan oleh dua instansi yang berbeda.
Modus terakhir adalah wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun kembali infrastruktur serta pengadaan sarana dan prasarana pascabencana. Banyak gedung, jalan, rumah pengungsi, serta fasilitas sosial dan umum lainnya yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah ditentukan. Dengan memanfaatkan situasi darurat, tiadanya mekanisme tender dalam pengerjaan proyek pemerintah telah memberi kontribusi bagi terjadinya salah urus dalam penanganan proyek. Bahkan terkadang aparat birokrasi yang mengendalikan pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi terlibat sekaligus sebagai kontraktor.
Di luar rentannya korupsi APBN/APBD yang dialokasikan untuk bantuan bencana, dana publik yang dikelola oleh berbagai badan hukum swasta juga sangat potensial dikorupsi. Terlebih tidak ada satu pun aturan main yang telah dibuat sebagai panduan dalam pengelolaan dana publik untuk keperluan penanganan bencana di Indonesia. Transparan atau tidaknya pengelolaan dana publik sangat bergantung pada sistem internal yang dirancang oleh badan hukum swasta terkait. Akuntabel atau tidaknya penggunaan dana publik yang dikumpulkan untuk membantu korban bencana sangat berpulang dari kemauan baik pengelolanya. Padahal besarnya dana publik yang dikumpulkan untuk membantu bencana alam bisa melampaui jumlah yang dialokasikan negara.
Karena itu, sudah saatnya dipikirkan bagaimana dana publik yang besar tersebut bisa dikelola secara akuntabel dan transparan melalui instrumen hukum. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah Dewan Perwakilan Rakyat mengingat domain penyusunan regulasi ada di tangan mereka. Paling tidak, regulasi mengenai tata kelola yang baik dana publik dapat menjadi rambu-rambu bersama para pejuang kemanusiaan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka sekaligus meminimalkan para petualang yang hendak memanfaatkan situasi bencana untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 15 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Mengintip Zona Merah Gedung KPK
Tak banyak orang yang tahu isi perut gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga antikorupsi yang super itu. Termasuk lapangan tembak untuk latihan penyidik dan pemimpin KPK di bangunan bertingkat sembilan ini. Wih, mantap.
Bau mesiu menyebar dari sebuah ruangan di lantai 9. Selongsong peluru merek Fiocchi kaliber 32 milimeter yang dimuntahkan dari pistol Winchester bertebaran di lantai. Jumat sore pekan lalu, empat pegawai KPK memang baru kelar latihan membidik koruptor bersenjata. Saban Jumat latihan menembak digelar di ruangan seluas 10 x 20 meter tersebut. "Hanya untuk berjaga-jaga," kata Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja kepada pers yang tur di gedung KPK.
Turun satu lantai, ada berkas perkara teronggok di kiri-kanan lorong. Hampir tak ada celah yang kosong. Di balik meja yang disekat-sekat, para penyidik dan jaksa memelototi monitor komputer dan dokumen. Di ujung ruangan menjadi tempat para tersangka koruptor diperiksa. Sepertiga lantai 8 dijadikan 18 ruang pemeriksaan, masing-masing ukuran sekitar 2 x 2 meter. "Juga dilengkapi kamera," ujar Direktur Penuntutan Ferry Wibisono. Bagian Penyelidikan berkantor di lantai 7.
Lantai 7, 8, dan 9 adalah zona "sangat merah". Tak sembarang orang bisa masuk. Hanya pegawai dengan akses khusus yang bisa melenggang di sana. Bahkan pegawai KPK dilarang membawa telepon seluler jika masuk ruang penyidikan dan penuntutan ini. Sebagian lantai 2 juga menjadi daerah "wingit", yakni ruang penyadapan. Di lantai 2 juga ada perpustakaan yang bisa dimasuki siapa pun, tentu atas izin dan pengawalan petugas.
Menurut pengelola gedung, Sri Sambodo Adi, terdapat empat zona di sana: hijau, kuning, merah, dan sangat merah. Zona hijau bisa dimasuki oleh siapa pun, seperti pelataran gedung dan ruang pers. Perpustakaan termasuk zona kuning. Nah, ruang pimpinan KPK di lantai 3 masuk zona merah. Tamu harus menitipkan kartu identitas di resepsionis, lalu diantar oleh petugas keamanan ke lantai 3. Setiap tamu yang masuk gedung memang didampingi petugas keamanan.
Dari lima ruang pemimpin KPK, satu tak berpenghuni sejak satu setengah tahun lalu. Itu bekas ruang kerja Antasari Azhar, dulu Ketua KPK yang tersandung perkara pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Terakhir Antasari datang mengambil rekaman pertemuannya dengan buron Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, di Singapura.
Di atas meja hanya ada sebuah korek api gas berwarna merah di antara tumpukan bolpoin di rak kecil. "Ruang ini untuk menerima tamu KPK dari luar negeri," kata Ida, Sekretaris Ketua KPK, jabatan yang tetap ada meski tak ada Ketua KPK. Anton Septian
Sumber: Koran Tempo, 15 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Bau mesiu menyebar dari sebuah ruangan di lantai 9. Selongsong peluru merek Fiocchi kaliber 32 milimeter yang dimuntahkan dari pistol Winchester bertebaran di lantai. Jumat sore pekan lalu, empat pegawai KPK memang baru kelar latihan membidik koruptor bersenjata. Saban Jumat latihan menembak digelar di ruangan seluas 10 x 20 meter tersebut. "Hanya untuk berjaga-jaga," kata Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja kepada pers yang tur di gedung KPK.
Turun satu lantai, ada berkas perkara teronggok di kiri-kanan lorong. Hampir tak ada celah yang kosong. Di balik meja yang disekat-sekat, para penyidik dan jaksa memelototi monitor komputer dan dokumen. Di ujung ruangan menjadi tempat para tersangka koruptor diperiksa. Sepertiga lantai 8 dijadikan 18 ruang pemeriksaan, masing-masing ukuran sekitar 2 x 2 meter. "Juga dilengkapi kamera," ujar Direktur Penuntutan Ferry Wibisono. Bagian Penyelidikan berkantor di lantai 7.
Lantai 7, 8, dan 9 adalah zona "sangat merah". Tak sembarang orang bisa masuk. Hanya pegawai dengan akses khusus yang bisa melenggang di sana. Bahkan pegawai KPK dilarang membawa telepon seluler jika masuk ruang penyidikan dan penuntutan ini. Sebagian lantai 2 juga menjadi daerah "wingit", yakni ruang penyadapan. Di lantai 2 juga ada perpustakaan yang bisa dimasuki siapa pun, tentu atas izin dan pengawalan petugas.
Menurut pengelola gedung, Sri Sambodo Adi, terdapat empat zona di sana: hijau, kuning, merah, dan sangat merah. Zona hijau bisa dimasuki oleh siapa pun, seperti pelataran gedung dan ruang pers. Perpustakaan termasuk zona kuning. Nah, ruang pimpinan KPK di lantai 3 masuk zona merah. Tamu harus menitipkan kartu identitas di resepsionis, lalu diantar oleh petugas keamanan ke lantai 3. Setiap tamu yang masuk gedung memang didampingi petugas keamanan.
Dari lima ruang pemimpin KPK, satu tak berpenghuni sejak satu setengah tahun lalu. Itu bekas ruang kerja Antasari Azhar, dulu Ketua KPK yang tersandung perkara pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Terakhir Antasari datang mengambil rekaman pertemuannya dengan buron Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, di Singapura.
Di atas meja hanya ada sebuah korek api gas berwarna merah di antara tumpukan bolpoin di rak kecil. "Ruang ini untuk menerima tamu KPK dari luar negeri," kata Ida, Sekretaris Ketua KPK, jabatan yang tetap ada meski tak ada Ketua KPK. Anton Septian
Sumber: Koran Tempo, 15 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
ICW Menangi Sengketa Informasi: Laporan SPJ BOS Bisa Diakses Publik
Komisi Informasi Pusat (KIP) mengabulkan permohonan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas sengketa informasi pulik terkait surat pertanggungjawaban atas penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Bantuan Operasional (DBO). KIP memutuskan, laporan SPJ merupakan informasi terbuka yang dapat diakses oleh publik.
Putusan ini menjadi penting, sebab akan dijadikan acuan kasus sengketa permintaan informasi publik di badan-badan publik milik negara dan pemerintah. "Nantinya, publik akan dapat juga mengakses laporan perjalanan para anggota dewan, bahkan presiden," kata peneliti senior ICW, Febri Hendri, yang ditemui usai sidang putusan KIP, Senin (15/11).
Hal ini, kata Febri, akan mempermudah upaya pemberantasan korupsi di berbagai bidang. Transparansi anggaran, yang dpaat diakses oleh publik, akan meminimalkan potensi korupsi. "Sebab, akar korupsi umumnya adalah manipulasi anggaran," ujar Febri.
Keputusan KIP ini dinilai bersejarah oleh orangtua siswa. "Putusan KIP akan membuka akses publik dalam pengawasan anggaran pendidikan," ujar Jumono, koordinator Aliansi orang Tua Peduli Pendidikan.
Majelis komisioner KIP yang diketuai Ahmad Alamsyah Saragih menyebutkan, dalil-dalil hukum yang disebutkan termohon, yakni 5 kepala Sekolah Induk TKBN dan Kepala Dinas pendidikan DKI Jakarta, tidak relevan. "Meskipun salinan SPJ beserta kwitansinya bukan termasuk dalam laporan pemeriksaan, tetapi merupakan dokumen yuang terbuka," ujar Ahmad Alamsyah.
Dokumen yang terbuka, pihak sekolah harus memberikan salinan kepada pihak yang memintanya, selama dokumen itu sudah dilaporkan kepada badan legislatif. "KIP memerintahkan pihak termohon menyerahkan laporan yang diminta pemohon dalam jangka waktu 10 hari kerja," ujar ketua majelis komisioner.
Sebelumnya, ICW mengajukan permohonan salinan laporan SPJ penggunaan anggaran dana BOS dan DPO kepada kepala SMPN 67, SMPN 28, SMPN 84, SMPN 95 dan SMPN 190 Jakarta. ICW menerima aduan masyarakat mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran di kelima sekolah negeri yang menjadi sekolah induk TKBM tersebut.
Kelima kepala sekolah menolak permintaan ICW, dengan menyebutkan laporan SPJ tidak dapat diakses oleh umum, serta harus mendapat persetujuan atasan, dalam hal ini kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Farodlilah, Katonk
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Putusan ini menjadi penting, sebab akan dijadikan acuan kasus sengketa permintaan informasi publik di badan-badan publik milik negara dan pemerintah. "Nantinya, publik akan dapat juga mengakses laporan perjalanan para anggota dewan, bahkan presiden," kata peneliti senior ICW, Febri Hendri, yang ditemui usai sidang putusan KIP, Senin (15/11).
Hal ini, kata Febri, akan mempermudah upaya pemberantasan korupsi di berbagai bidang. Transparansi anggaran, yang dpaat diakses oleh publik, akan meminimalkan potensi korupsi. "Sebab, akar korupsi umumnya adalah manipulasi anggaran," ujar Febri.
Keputusan KIP ini dinilai bersejarah oleh orangtua siswa. "Putusan KIP akan membuka akses publik dalam pengawasan anggaran pendidikan," ujar Jumono, koordinator Aliansi orang Tua Peduli Pendidikan.
Majelis komisioner KIP yang diketuai Ahmad Alamsyah Saragih menyebutkan, dalil-dalil hukum yang disebutkan termohon, yakni 5 kepala Sekolah Induk TKBN dan Kepala Dinas pendidikan DKI Jakarta, tidak relevan. "Meskipun salinan SPJ beserta kwitansinya bukan termasuk dalam laporan pemeriksaan, tetapi merupakan dokumen yuang terbuka," ujar Ahmad Alamsyah.
Dokumen yang terbuka, pihak sekolah harus memberikan salinan kepada pihak yang memintanya, selama dokumen itu sudah dilaporkan kepada badan legislatif. "KIP memerintahkan pihak termohon menyerahkan laporan yang diminta pemohon dalam jangka waktu 10 hari kerja," ujar ketua majelis komisioner.
Sebelumnya, ICW mengajukan permohonan salinan laporan SPJ penggunaan anggaran dana BOS dan DPO kepada kepala SMPN 67, SMPN 28, SMPN 84, SMPN 95 dan SMPN 190 Jakarta. ICW menerima aduan masyarakat mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran di kelima sekolah negeri yang menjadi sekolah induk TKBM tersebut.
Kelima kepala sekolah menolak permintaan ICW, dengan menyebutkan laporan SPJ tidak dapat diakses oleh umum, serta harus mendapat persetujuan atasan, dalam hal ini kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Farodlilah, Katonk
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
KPK Tetapkan Walikota Bekasi Tersangka Korupsi APBD
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Bekasi, Jawa Barat, Mochtar Mohammad, sebagai tersangka dugaan korupsi dana APBD Kota Bekasi 2010.
"KPK telah menaikan status penyelidikan menjadi penyidikan terkait penggunaan APBD Kota Bekasi 2010, juga soal pemberian sesuatu atas perolehan Adipura bagi Kota Bekasi dengan tersangka MM," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, di Jakarta, Senin.
Wali Kota Bekasi tersebut, menurut Johan, disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1, atau Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia mengaku belum tahu secara pasti berapa nilai suap maupun kerugian negara atas dugaan korupsi dan suap tersebut. "Berapa besarnya nanti saya tanyakan lagi ke penyidik".
Ia pun mengatakan belum mendapat informasi siapa yang menerima suap terkait perolehan Adipura bagi Kota Bekasi.
Kasus yang menjerat Mochtar Mohammad menjadi tersangka ini berbeda dengan kasus suap kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat (Jabar). "Kalau untuk kasus yang suap auditor BPK Jabar masih dalam pengembangan".
"Kapan ditetapkannya sebagai tersangka, hari ini sepertinya, saya baru tahunya hari ini," ujar dia.
Sementara itu, Majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah menjatuhkan vonis terhadap tiga pejabat pemerintahan Kota Bekasi.
Sekda Bekasi, Tjandra Utama Effendi telah divonis tiga tahun penjara denda Rp100 juta dan subsider enam bulan tahanan.
Sedangkan dua staf Bekasi lainnya yakni Kepala Indpektorat Bekasi, Herry Lukmantohari divonis 2,5 tahun penjara, Kabid Aset dan Akuntansi pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Kota Bekasi, Herry Suparjan divonis dua tahun penjara.
Masing-masing mereka juga dikenai denda Rp100 juta dan subsider tiga bulan tahanan.
Red: taufik rachman
Sumber: antara
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"KPK telah menaikan status penyelidikan menjadi penyidikan terkait penggunaan APBD Kota Bekasi 2010, juga soal pemberian sesuatu atas perolehan Adipura bagi Kota Bekasi dengan tersangka MM," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, di Jakarta, Senin.
Wali Kota Bekasi tersebut, menurut Johan, disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1, atau Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia mengaku belum tahu secara pasti berapa nilai suap maupun kerugian negara atas dugaan korupsi dan suap tersebut. "Berapa besarnya nanti saya tanyakan lagi ke penyidik".
Ia pun mengatakan belum mendapat informasi siapa yang menerima suap terkait perolehan Adipura bagi Kota Bekasi.
Kasus yang menjerat Mochtar Mohammad menjadi tersangka ini berbeda dengan kasus suap kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat (Jabar). "Kalau untuk kasus yang suap auditor BPK Jabar masih dalam pengembangan".
"Kapan ditetapkannya sebagai tersangka, hari ini sepertinya, saya baru tahunya hari ini," ujar dia.
Sementara itu, Majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah menjatuhkan vonis terhadap tiga pejabat pemerintahan Kota Bekasi.
Sekda Bekasi, Tjandra Utama Effendi telah divonis tiga tahun penjara denda Rp100 juta dan subsider enam bulan tahanan.
Sedangkan dua staf Bekasi lainnya yakni Kepala Indpektorat Bekasi, Herry Lukmantohari divonis 2,5 tahun penjara, Kabid Aset dan Akuntansi pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Kota Bekasi, Herry Suparjan divonis dua tahun penjara.
Masing-masing mereka juga dikenai denda Rp100 juta dan subsider tiga bulan tahanan.
Red: taufik rachman
Sumber: antara
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Gayus Potret Kultur Korupsi di Tahanan"
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menilai kasus Gayus Tambunan yang bebas ke luar dan masuk tahanan merupakan potret kultur korupsi yang sistemik di rumah tahanan.
"Saya ada informasi bahwa Gayus itu sudah 68 kali ke luar tahanan," kata Eva di gedung DPR, Jakarta, Senin 15 November 2010.
Artinya, menurut Eva, tidak hanya kasus foto di Bali itu saja yang menandakan Gayus keluar dari tahanan. "Jadi, ada kultur korup yang sangat sistemik di rumah tahanan," kata Eva.
Oleh karena itu, Eva mengharapkan pembenahan yang radikal dalam kepolisian dan mengusulkan ada pelibatan pihak lain dalam penanganan kasus Gayus. "Tidak boleh kepolisian saja karena sejak awal sudah menunjukkan kontaminasi dan ada bias kepentingan," kata Eva.
Menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menjadi lembaga yang melakukan supervisi para penyidik lembaga penegak hukum dalam penanganan kasus ini. Presiden pun didesak menginstruksikan koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum untuk penuntasan kasus Gayus itu. "Itikad itu bisa dikuatkan dengan political will-nya Pak SBY. Kan ini sudah antarlembaga," kata Eva.
Kasus suap Gayus ini terkuak saat Gayus keluar dari Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, pada 5 November 2010. Saat itu Gayus mengakui dirinya keluar dan sempat mampir ke rumahnya di kawasan Kelapa Gading.
Namun, beredar foto orang yang mirip Gayus ternyata bepergian ke Bali untuk menonton turnamen tenis internasional. Gayus pun membantah foto itu.
Polisi kemudian mengusut kasus ini. Akhirnya diketahui sembilan petugas Rutan Mako Brimob terindikasi menerima suap dari Gayus. Suap diberikan agar Gayus mendapatkan kenyamanan di dalam penjara. (adi)
• VIVAnews
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Saya ada informasi bahwa Gayus itu sudah 68 kali ke luar tahanan," kata Eva di gedung DPR, Jakarta, Senin 15 November 2010.
Artinya, menurut Eva, tidak hanya kasus foto di Bali itu saja yang menandakan Gayus keluar dari tahanan. "Jadi, ada kultur korup yang sangat sistemik di rumah tahanan," kata Eva.
Oleh karena itu, Eva mengharapkan pembenahan yang radikal dalam kepolisian dan mengusulkan ada pelibatan pihak lain dalam penanganan kasus Gayus. "Tidak boleh kepolisian saja karena sejak awal sudah menunjukkan kontaminasi dan ada bias kepentingan," kata Eva.
Menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menjadi lembaga yang melakukan supervisi para penyidik lembaga penegak hukum dalam penanganan kasus ini. Presiden pun didesak menginstruksikan koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum untuk penuntasan kasus Gayus itu. "Itikad itu bisa dikuatkan dengan political will-nya Pak SBY. Kan ini sudah antarlembaga," kata Eva.
Kasus suap Gayus ini terkuak saat Gayus keluar dari Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, pada 5 November 2010. Saat itu Gayus mengakui dirinya keluar dan sempat mampir ke rumahnya di kawasan Kelapa Gading.
Namun, beredar foto orang yang mirip Gayus ternyata bepergian ke Bali untuk menonton turnamen tenis internasional. Gayus pun membantah foto itu.
Polisi kemudian mengusut kasus ini. Akhirnya diketahui sembilan petugas Rutan Mako Brimob terindikasi menerima suap dari Gayus. Suap diberikan agar Gayus mendapatkan kenyamanan di dalam penjara. (adi)
• VIVAnews
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Kejagung Bentuk Tim Penyidik Suap Gayus
Kejaksaan Agung akan segera membentuk tim jaksa peneliti untuk memantau proses penyidikan pada perkara penyuapan oleh Gayus Halomoan P Tambunan terhadap sejumlah petugas di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob.
Itu dilakukan sebagai tindak lanjut diterimanya Surat Perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Plt Jaksa Agung Darmono mengatakan, pihaknya baru menerima SPDP untuk petugas kepolisian. Sedangkan SPDP untuk terdakwa Gayus belum diterima.
"Mungkin (SPDP) dalam perjalanan, tapi saya belum terima itu. Kita cek besok, kalau besok ada, berarti mungkin sudah dikirim," ujar Darmono, kepada wartawan, Senin (15/11/2010) sore.
Jika SPDP diterima maka Gayus dan para petugas polisi Mako Brimob resmi menjadi tersangka. Kejaksaan akan segera menunjuk jaksa peneliti yang terurai dalam surat perintah P16 nya.
“Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka penyempurnaan berkas itu, tentu ada koordinasi antara Jaksa Peneliti dengan penyelidik,” tegas Darmono. [TJ]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Itu dilakukan sebagai tindak lanjut diterimanya Surat Perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Plt Jaksa Agung Darmono mengatakan, pihaknya baru menerima SPDP untuk petugas kepolisian. Sedangkan SPDP untuk terdakwa Gayus belum diterima.
"Mungkin (SPDP) dalam perjalanan, tapi saya belum terima itu. Kita cek besok, kalau besok ada, berarti mungkin sudah dikirim," ujar Darmono, kepada wartawan, Senin (15/11/2010) sore.
Jika SPDP diterima maka Gayus dan para petugas polisi Mako Brimob resmi menjadi tersangka. Kejaksaan akan segera menunjuk jaksa peneliti yang terurai dalam surat perintah P16 nya.
“Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka penyempurnaan berkas itu, tentu ada koordinasi antara Jaksa Peneliti dengan penyelidik,” tegas Darmono. [TJ]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
SBY Panggil Kapolri dan Jaksa Agung Terkait Gayus
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meminta penjelasan Kapolri dan Plt Jaksa Agung terkait kasus Gayus Halomoan Tambunan.
"Beliau sudah mendengar kasus itu, dan terkait itu besok pagi (Selasa 16/11/2010) akan meminta penjelasan dari yang berwenang, kalau Kapolri," ujar Staf Khusus Presiden, Heru Lelono usai rapat dengan Presiden di Kantor Kepresidenan, Senin (15/11/2010).
Menurut Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Plt Jaksa Agunug juga akan dimintai keterangannya oleh Presiden. Itu dilakukan bukan karena Presiden akan memberikan sanksi kepada Kapolri atau Kejagung. Namun, hanya untuk mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Presiden, menurutnya, tidak apatis terhadap kasus tersebut.
"Tentu Presiden telah mendengar berita dari media massa bahwa ada kontroversi Gayus. presiden akan meminta penjelasan langsung dari Kapolri dan Plt Jaksa Agung, mungkin dilaksanakan besok (Selasa 16/11/2010)." [TJ]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Beliau sudah mendengar kasus itu, dan terkait itu besok pagi (Selasa 16/11/2010) akan meminta penjelasan dari yang berwenang, kalau Kapolri," ujar Staf Khusus Presiden, Heru Lelono usai rapat dengan Presiden di Kantor Kepresidenan, Senin (15/11/2010).
Menurut Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Plt Jaksa Agunug juga akan dimintai keterangannya oleh Presiden. Itu dilakukan bukan karena Presiden akan memberikan sanksi kepada Kapolri atau Kejagung. Namun, hanya untuk mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Presiden, menurutnya, tidak apatis terhadap kasus tersebut.
"Tentu Presiden telah mendengar berita dari media massa bahwa ada kontroversi Gayus. presiden akan meminta penjelasan langsung dari Kapolri dan Plt Jaksa Agung, mungkin dilaksanakan besok (Selasa 16/11/2010)." [TJ]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Pekan Depan, Kejagung Limpahkan Berkas Yusril
Plt Jaksa Agung Darmono bertekad akan segera penyelesaikan perkara korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesoedibjo sebagai tersangka.
"Minggu ini diharapkan sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri," ujar Darmono, di Jakarta, Senin (15/11/2010).
Darmono segera melengkapi berkas pemeriksaan terhadap tersangka maupun saksi. Saat ini berkas Sisminbakum yang diduga merugikan negara Rp420 miliar ini sedang ditangani oleh Direktur Penuntutan (Dirtut) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
"Jadi kalau mungkin ada kekurangan-kekurangan sedikit diharapkan sudah diselesaikan hari ini," ujar Darmono. Sebelumnya diberitakan, Kejagung akan segera merampungkan berkas pemeriksaan tanpa menunggu proses uji materi KUHAP yang diajukan Yusril Ihza Mahendra ke Mahkamah Konstitusi (MK). [bay/mah]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Minggu ini diharapkan sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri," ujar Darmono, di Jakarta, Senin (15/11/2010).
Darmono segera melengkapi berkas pemeriksaan terhadap tersangka maupun saksi. Saat ini berkas Sisminbakum yang diduga merugikan negara Rp420 miliar ini sedang ditangani oleh Direktur Penuntutan (Dirtut) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
"Jadi kalau mungkin ada kekurangan-kekurangan sedikit diharapkan sudah diselesaikan hari ini," ujar Darmono. Sebelumnya diberitakan, Kejagung akan segera merampungkan berkas pemeriksaan tanpa menunggu proses uji materi KUHAP yang diajukan Yusril Ihza Mahendra ke Mahkamah Konstitusi (MK). [bay/mah]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Syamsul Arifin Pimpin Sumut dari Penjara
Mendekam di penjara tidak membuat Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Syamsul Arifin, absen memantau aktivitas provinsi yang dipimpinnya. Syamsul yang memang belum dinonaktifkan masih memerintahkan wakilnya dari penjara.
"Hari ini saya tugaskan Wakil Gubernur menghadiri upacara hari Sumpah Pemuda dan pelantikan Bupati Simalungun," sebut Syamsul usai diperiksa penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta, Kamis(28/10/2010) petang.
Syamsul sudah sejak Jumat (22/10/2010) ditahan KPK di rumah tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Hampir sepekan Syamsul menjadi tahanan hingga sisa 20 hari ke depan. Syamsul menjadi tersangka terkait dugaan korupsi penyelewangan dana APBD Kabupaten Langkat tahun 2007 silam sebesar Rp99 miliar.
Syamsul pun berpesan agar anak buahnya selama dirinya ditahan KPK harus tetap bekerja dengan baik. "Bahwa Sumut itu diatur dengan sistem bukan diatur oleh orang," pungkasnya. [bar]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Hari ini saya tugaskan Wakil Gubernur menghadiri upacara hari Sumpah Pemuda dan pelantikan Bupati Simalungun," sebut Syamsul usai diperiksa penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta, Kamis(28/10/2010) petang.
Syamsul sudah sejak Jumat (22/10/2010) ditahan KPK di rumah tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Hampir sepekan Syamsul menjadi tahanan hingga sisa 20 hari ke depan. Syamsul menjadi tersangka terkait dugaan korupsi penyelewangan dana APBD Kabupaten Langkat tahun 2007 silam sebesar Rp99 miliar.
Syamsul pun berpesan agar anak buahnya selama dirinya ditahan KPK harus tetap bekerja dengan baik. "Bahwa Sumut itu diatur dengan sistem bukan diatur oleh orang," pungkasnya. [bar]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Uang Korupsi APBD Sumut ke Anggota DPR RI?
Sejumlah anggota DPR RI diduga ikut kecipratan uang hasil korupsi dana APBD Langkat dengan tersangka, Gubernur Sumut, Syamsul Arifin. Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melacak aliran dana itu.
"Beberapa anggota DPR yang kita periksa memang terkaget-kaget. Tahunya terima duit dari uang pribadi, ternyata uang APBD," kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Penyidikan KPK, Feri Wibisono, di kantor KPK, Jumat (12/11/2010).
Terkait kasus yang diduga dilakukan Syamsul saat menjabat sebagai Bupati Langkat itu, KPK beberapa waktu lalu ada memeriksa empat anggota DPR sebagai saksi. Mereka adalah, Hazrul Azwar dari Fraksi PPP, serta tiga anggota Fraksi Partai Demokrat yaitu Abdul Wahab Dalimunte, Ignatius Moelyono dan Edi Ramli Sitanggang.
Namun Feri enggan menyebut siapa politisi Senayan yang ikut kecipratan uang dari hasil korupsi yang merugikan negara sekitar Rp40 miliar. Sebelumnya, kerugian negara dihitung mencapai Rp102 miliar, namun sebanyak Rp60 miliar sudah dikembalikan Syamsul.
Feri yang juga Direktur Penuntutan mengaku menemui kendala untuk menelusuri maupun penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi itu. Pasalnya, dana yang diselewengkan tidak hanya dari satu tahun anggaran APBD saja.
"Karena ini APBD multiyears. Ada pengeluaran, tapi banyak yang tidak disertai bukti pengeluaran.Beruntung masih ada catatan tentang pengeluarannya," tandasnya.
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Beberapa anggota DPR yang kita periksa memang terkaget-kaget. Tahunya terima duit dari uang pribadi, ternyata uang APBD," kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Penyidikan KPK, Feri Wibisono, di kantor KPK, Jumat (12/11/2010).
Terkait kasus yang diduga dilakukan Syamsul saat menjabat sebagai Bupati Langkat itu, KPK beberapa waktu lalu ada memeriksa empat anggota DPR sebagai saksi. Mereka adalah, Hazrul Azwar dari Fraksi PPP, serta tiga anggota Fraksi Partai Demokrat yaitu Abdul Wahab Dalimunte, Ignatius Moelyono dan Edi Ramli Sitanggang.
Namun Feri enggan menyebut siapa politisi Senayan yang ikut kecipratan uang dari hasil korupsi yang merugikan negara sekitar Rp40 miliar. Sebelumnya, kerugian negara dihitung mencapai Rp102 miliar, namun sebanyak Rp60 miliar sudah dikembalikan Syamsul.
Feri yang juga Direktur Penuntutan mengaku menemui kendala untuk menelusuri maupun penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi itu. Pasalnya, dana yang diselewengkan tidak hanya dari satu tahun anggaran APBD saja.
"Karena ini APBD multiyears. Ada pengeluaran, tapi banyak yang tidak disertai bukti pengeluaran.Beruntung masih ada catatan tentang pengeluarannya," tandasnya.
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Bukti Korupsi Syamsul Arifin Diduga Masih Banyak
Bukti-bukti korupsi yang diduga dilakukan tersangka Syamsul Arifin masih banyak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah milik Syamsul di Medan, Senin (15/11/2010).
"Kita menduga di tempat yang bersangkutan, di rumahnya, ada alat bukti yang bisa menguatkan proses penyidikan yang bersangkutan," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi SP di Gedung KPK, Jakarta, Senin(15/11/2010).
Johan menjelaskan sedari pagi tadi sebanyak enam penyidik melakukan pengeledahan di rumah milik Syamsul di Medan yang berlokasi di Jl. STM Suka Darma, Kelurahan Suka Maju, Kecamatan Medan Johor.
Penggeledahan untuk mengumpulkan sejumlah alat bukti baik berupa dokumen maupun barang-barang yang diduga berasal dari aliran dana korupsi sebesar Rp99 miliar tersebut.
Sebelumnya, KPK sudah menyita sejumlah barang yang diduga diperoleh dari hasil korupsi penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat ketika dirinya masih menjabat Bupati Langkat seperti mobil Jaguar, Suzuki Pather, sebuah rumah mewah di Perumahan Cibubur dan bukti lainnya.
Terhadap penyidikan kasus itu sendiri, penyidik hingga kini masih terus melakukan pemeriksaan sejumlah saksi-saksi dan tersangka Syamsul. "Pemeriksaan di KPK dalam rangka agar kasus itu segera dilimpahkan ke penuntutan," tutupnya. [bar]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
"Kita menduga di tempat yang bersangkutan, di rumahnya, ada alat bukti yang bisa menguatkan proses penyidikan yang bersangkutan," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi SP di Gedung KPK, Jakarta, Senin(15/11/2010).
Johan menjelaskan sedari pagi tadi sebanyak enam penyidik melakukan pengeledahan di rumah milik Syamsul di Medan yang berlokasi di Jl. STM Suka Darma, Kelurahan Suka Maju, Kecamatan Medan Johor.
Penggeledahan untuk mengumpulkan sejumlah alat bukti baik berupa dokumen maupun barang-barang yang diduga berasal dari aliran dana korupsi sebesar Rp99 miliar tersebut.
Sebelumnya, KPK sudah menyita sejumlah barang yang diduga diperoleh dari hasil korupsi penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat ketika dirinya masih menjabat Bupati Langkat seperti mobil Jaguar, Suzuki Pather, sebuah rumah mewah di Perumahan Cibubur dan bukti lainnya.
Terhadap penyidikan kasus itu sendiri, penyidik hingga kini masih terus melakukan pemeriksaan sejumlah saksi-saksi dan tersangka Syamsul. "Pemeriksaan di KPK dalam rangka agar kasus itu segera dilimpahkan ke penuntutan," tutupnya. [bar]
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
KPK fokuskan tambang dan kehutanan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengumpulkan bahan keterangan terkait dengan dugaan korupsi dalam sektor kehutanan dan pertambangan di Kalimantan.
Juru Bicara KPK Johan Budi S.P mengatakan pihaknya sedang mengumpulkan bahan keterangan terkait dengan indikasi korupsi dalam sektor pertambangan dan kehutanan. Namun, dia belum menyebutkan secara detail provinsi yang dimaksud dalam hal tersebut.
"Sektor pertambangan dan kehutanan ini akan menjadi fokus. Kami tengah melakukan pengumpulan bahan keterangan soal keduanya," ujarnya kepada pers di Jakarta kemarin.
Johan menuturkan KPK pernah mengusut kasus dugaan korupsi di sektor kehutanan, yakni kasus pemberian izin hutan tanaman industri di Pelalawan, Riau dan suap perizinan di Kalimantan Timur.
Dia menegaskan dua sektor itu akan menjadi fokus KPK ke depannya. KPK lanjutnya, tentu bukan mengurusi masalah pembalakan liar tetapi apakah ada indikasi korupsi dalam proses tersebut.
Urusan pembalakan liar, katanya, tentunya diteliti dengan menggunakan UU Kehutanan. "Tidak hanya izin yang terkait dengan indikasi korupsi, namun KPK meneliti semua (dalam dua sektor) itu yang diindikasikan telah terjadi tindak pidana korupsi," ujarnya.
Pekan ini, tiga organisasi sipil yakni Save Our Borneo, Kontak Rakyat Borneo dan Indonesia Corruption Watch melansir bahwa terjadi tindak pidana korupsi sejumlah perusahaan kelapa sawit yang bersertifikat lestari dari Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Dua perusahaan yang disebut-sebut LSM itu adalah Cargill Incorporated dan Wilmar Indonesia. Membantah Cargill Incorporated melalui perwakilannya di Indonesia menyatakan pihaknya meminta RSPO untuk memeriksa tuduhan korupsi yang disampaikan tiga organisasi sipil.
Maretha Sambe, Head of Communications and Corporate Responsibility PT Cargill Indonesia, mengatakan pihaknya akan memeriksa terlebih dahulu laporan tentang tuduhan tersebut sebelum berkomentar lebih jauh.
Dia juga mengundang RSPO untuk memeriksa dugaan atas perusahaan tersebut. "Kami mengundang RSPO untuk memeriksa tuduhan-tuduhan tersebut. Kami juga siap bekerja sama dengan instansi pemerintah secara terbuka dan transparan," ujar Maretha.
Di tempat terpisah, M.P. Tumanggor, Komisaris PT Wilmar Group, membantah ada pemanfaatan lahan di Kalimantan Tengah yang ilegal.
Perusahaan memang memanfaatkan lahan seluas 80.000 hektare di Kabupaten Sampit, tetapi sudah sesuai dengan izin dari Pemkab Sampit, Gubernur Kalteng, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Kehutanan. "Jadi tidak benar benar adanya tuduhan penerbitan izin ilegal itu," tegas Tumanggor.
Sumber : Bisnis Indonesia, 13 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Juru Bicara KPK Johan Budi S.P mengatakan pihaknya sedang mengumpulkan bahan keterangan terkait dengan indikasi korupsi dalam sektor pertambangan dan kehutanan. Namun, dia belum menyebutkan secara detail provinsi yang dimaksud dalam hal tersebut.
"Sektor pertambangan dan kehutanan ini akan menjadi fokus. Kami tengah melakukan pengumpulan bahan keterangan soal keduanya," ujarnya kepada pers di Jakarta kemarin.
Johan menuturkan KPK pernah mengusut kasus dugaan korupsi di sektor kehutanan, yakni kasus pemberian izin hutan tanaman industri di Pelalawan, Riau dan suap perizinan di Kalimantan Timur.
Dia menegaskan dua sektor itu akan menjadi fokus KPK ke depannya. KPK lanjutnya, tentu bukan mengurusi masalah pembalakan liar tetapi apakah ada indikasi korupsi dalam proses tersebut.
Urusan pembalakan liar, katanya, tentunya diteliti dengan menggunakan UU Kehutanan. "Tidak hanya izin yang terkait dengan indikasi korupsi, namun KPK meneliti semua (dalam dua sektor) itu yang diindikasikan telah terjadi tindak pidana korupsi," ujarnya.
Pekan ini, tiga organisasi sipil yakni Save Our Borneo, Kontak Rakyat Borneo dan Indonesia Corruption Watch melansir bahwa terjadi tindak pidana korupsi sejumlah perusahaan kelapa sawit yang bersertifikat lestari dari Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Dua perusahaan yang disebut-sebut LSM itu adalah Cargill Incorporated dan Wilmar Indonesia. Membantah Cargill Incorporated melalui perwakilannya di Indonesia menyatakan pihaknya meminta RSPO untuk memeriksa tuduhan korupsi yang disampaikan tiga organisasi sipil.
Maretha Sambe, Head of Communications and Corporate Responsibility PT Cargill Indonesia, mengatakan pihaknya akan memeriksa terlebih dahulu laporan tentang tuduhan tersebut sebelum berkomentar lebih jauh.
Dia juga mengundang RSPO untuk memeriksa dugaan atas perusahaan tersebut. "Kami mengundang RSPO untuk memeriksa tuduhan-tuduhan tersebut. Kami juga siap bekerja sama dengan instansi pemerintah secara terbuka dan transparan," ujar Maretha.
Di tempat terpisah, M.P. Tumanggor, Komisaris PT Wilmar Group, membantah ada pemanfaatan lahan di Kalimantan Tengah yang ilegal.
Perusahaan memang memanfaatkan lahan seluas 80.000 hektare di Kabupaten Sampit, tetapi sudah sesuai dengan izin dari Pemkab Sampit, Gubernur Kalteng, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Kehutanan. "Jadi tidak benar benar adanya tuduhan penerbitan izin ilegal itu," tegas Tumanggor.
Sumber : Bisnis Indonesia, 13 November 2010
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
KPK Bahas Illegal Logging pada Konferensi IACC 2010 di Thailand
Kompleksitas kejahatan illegal logging dan kejahatan di bidang kehutanan lainnya, termasuk money laundering, masih menjadi masalah besar bagi Indonesia. Sumber yang disebutkan Transparency International (TI) pada 2004 menunjukkan negara-negara yang diduga sebagai pemasok kayu memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Dari negara-negara tersebut, Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan diduga pemasok kayu terbesar.
Selain masalah climate change, topik illegal logging dan money laundering menjadi salah satu isu strategis dalam konfernsi 14th International Anti-Corruption Conference (IACC) 2010. Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin, hadir sebagai salah satu panelis dalam workshop bertajuk “Follow the Money to Curb Forestry Crime” atas undangan The Center for International Forestry Research (CIFOR) dan TI di hari kedua penyelenggaraan IACC 2010, Kamis (11/11).
Jasin mengakui bahwa kompleksitas kejahatan illegal logging dan kejahatan lainnya yang terkait merupakan persoalan besar yang membutuhkan usaha luar biasa dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh anti-corruption agency (ACA), tetapi harus bersama-sama dengan institusi dan lembaga antikorupsi lainnya serta dukungan dari komunitas masyarakat. “Bersama G20, KPK bekerja sama dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, khususnya terkait aset recovery selain sektor perdagangan dan finansial,” ungkap Jasin.
Jasin juga menyampaikan beberapa kasus kejahatan di bidang kehutanan yang telah ditangani KPK yang melibatkan dua orang pejabat publik, seorang gubernur dan bupati. Salah satunya bahkan merugikan keuangan negara mencapai ratusan miliar rupiah. “Hasil penebangan kayu ilegal senilai 346 miliar rupiah berhasil KPK kembalikan kepada negara dan langsung disetorkan ke kas negara melalui Menkeu”, ujarnya.
Agenda workshop fokus kepada 5 perspektif terkait korupsi, fraud dan money laundering yang dibawakan oleh beberapa panelis. Pertama, analisis global tentang bagaimana kaitan korupsi dan perusakan hutan yang disampaikan oleh Peter Larmour, Australian National University. Kedua, pelajaran dari program penghijauan di Indonesia oleh Ahmad Dermawan, Peneliti CIFOR. Ketiga, kasus-kasus korupsi kehutanan di Indonesia dan Malaysia, yang masing-masing dibawakan oleh KPK dan Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC). Keempat, peranan bank komersial untuk menekan korupsi kehutanan, dibawakan oleh Julie Walters, The Australian Institute of Criminology. Dan, kelima, bentuk-bentuk kejahatan transnasional dan peranan kerja sama internasional, oleh Ajit Joy, United Nation Office on Drugs and Crimes (UNODC).
IACC adalah forum dua tahunan konferensi pemberantasan korupsi yang diikuti oleh lembaga-lembaga nasional, baik pemerintah maupun non pemerintah di seluruh dunia yang memiliki tujuan untuk mengevaluasi dan merumuskan definisi, pencapaian serta langkah-langkah selanjutnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan kaitannya dengan isu-isu strategis lain seperti perubahan iklim, millenium development goals, pembangunan human security, transparansi, perdagangan gelap (penyelundupan), dan lain-lain.
Booth Pameran Kelompok
Pada rangkaian 14th International Anti-Corruption Conference (IACC) 2010, 10-13 November 2010, KPK ambil bagian dalam panel pameran kelompok yang tergabung dalam South-East Asia Parties Against Corruption (SEA-PAC) bersama Anti-Corruption Bureau (Brunei), Anti-Corruption Unit (Kamboja), Malaysian Anti-Corruption Commission (Malaysia), Office of the Ombudsman (Filipina), Corruption Prevention and Investigation Bureau (Singapura), National Anti-Corruption Commission (Thailand), Government Inspectorate of Vietnam (Vietnam), dan lembaga antikorupsi pengawas dari Laos.
Menempati area seluas 200 meter persegi di A-C Expo, booth SEA-PAC menjadi bagian dari keseluruhan konsep pameran yang diselenggarakan oleh NACC dan pemerintahan Kerajaan Thailand sebagai tuan rumah penyelenggara IACC 2010. Pameran dibuka oleh Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva, Rabu (10/11), dan berlangsung selama konferensi IACC.
Seperti dalam pameran-pameran sebelumnya, KPK juga menyiapkan materi publikasi dan souvenir bertemakan antikorupsi, seperti brosur, gantungan kunci, pin, permainan ular tangga, dan beragam informasi lainnya dalam bentuk buku ataupun CD yang diberikan kepada pengunjung secara cuma-cuma.
Booth dikelompokkan menjadi 8 zona area, termasuk sebuah panggung yang disediakan sebagai tempat untuk diskusi, menyampaikan informasi, dan pertunjukan budaya. Peserta yang datang diberikan sebuah kartu yang berguna layaknya sebuah “paspor”. Setiap pengunjung bebas mengunjungi booth yang diinginkan yang terdiri atas organisasi dan lembaga antikorupsi serta perwakilan pemerintahan Thailand. Kepada pengunjung juga diberikan sebuah stamp bergambar maskot IACC 2010 sebagai tanda kunjungannya.
(Humas)
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Selain masalah climate change, topik illegal logging dan money laundering menjadi salah satu isu strategis dalam konfernsi 14th International Anti-Corruption Conference (IACC) 2010. Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin, hadir sebagai salah satu panelis dalam workshop bertajuk “Follow the Money to Curb Forestry Crime” atas undangan The Center for International Forestry Research (CIFOR) dan TI di hari kedua penyelenggaraan IACC 2010, Kamis (11/11).
Jasin mengakui bahwa kompleksitas kejahatan illegal logging dan kejahatan lainnya yang terkait merupakan persoalan besar yang membutuhkan usaha luar biasa dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh anti-corruption agency (ACA), tetapi harus bersama-sama dengan institusi dan lembaga antikorupsi lainnya serta dukungan dari komunitas masyarakat. “Bersama G20, KPK bekerja sama dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, khususnya terkait aset recovery selain sektor perdagangan dan finansial,” ungkap Jasin.
Jasin juga menyampaikan beberapa kasus kejahatan di bidang kehutanan yang telah ditangani KPK yang melibatkan dua orang pejabat publik, seorang gubernur dan bupati. Salah satunya bahkan merugikan keuangan negara mencapai ratusan miliar rupiah. “Hasil penebangan kayu ilegal senilai 346 miliar rupiah berhasil KPK kembalikan kepada negara dan langsung disetorkan ke kas negara melalui Menkeu”, ujarnya.
Agenda workshop fokus kepada 5 perspektif terkait korupsi, fraud dan money laundering yang dibawakan oleh beberapa panelis. Pertama, analisis global tentang bagaimana kaitan korupsi dan perusakan hutan yang disampaikan oleh Peter Larmour, Australian National University. Kedua, pelajaran dari program penghijauan di Indonesia oleh Ahmad Dermawan, Peneliti CIFOR. Ketiga, kasus-kasus korupsi kehutanan di Indonesia dan Malaysia, yang masing-masing dibawakan oleh KPK dan Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC). Keempat, peranan bank komersial untuk menekan korupsi kehutanan, dibawakan oleh Julie Walters, The Australian Institute of Criminology. Dan, kelima, bentuk-bentuk kejahatan transnasional dan peranan kerja sama internasional, oleh Ajit Joy, United Nation Office on Drugs and Crimes (UNODC).
IACC adalah forum dua tahunan konferensi pemberantasan korupsi yang diikuti oleh lembaga-lembaga nasional, baik pemerintah maupun non pemerintah di seluruh dunia yang memiliki tujuan untuk mengevaluasi dan merumuskan definisi, pencapaian serta langkah-langkah selanjutnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan kaitannya dengan isu-isu strategis lain seperti perubahan iklim, millenium development goals, pembangunan human security, transparansi, perdagangan gelap (penyelundupan), dan lain-lain.
Booth Pameran Kelompok
Pada rangkaian 14th International Anti-Corruption Conference (IACC) 2010, 10-13 November 2010, KPK ambil bagian dalam panel pameran kelompok yang tergabung dalam South-East Asia Parties Against Corruption (SEA-PAC) bersama Anti-Corruption Bureau (Brunei), Anti-Corruption Unit (Kamboja), Malaysian Anti-Corruption Commission (Malaysia), Office of the Ombudsman (Filipina), Corruption Prevention and Investigation Bureau (Singapura), National Anti-Corruption Commission (Thailand), Government Inspectorate of Vietnam (Vietnam), dan lembaga antikorupsi pengawas dari Laos.
Menempati area seluas 200 meter persegi di A-C Expo, booth SEA-PAC menjadi bagian dari keseluruhan konsep pameran yang diselenggarakan oleh NACC dan pemerintahan Kerajaan Thailand sebagai tuan rumah penyelenggara IACC 2010. Pameran dibuka oleh Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva, Rabu (10/11), dan berlangsung selama konferensi IACC.
Seperti dalam pameran-pameran sebelumnya, KPK juga menyiapkan materi publikasi dan souvenir bertemakan antikorupsi, seperti brosur, gantungan kunci, pin, permainan ular tangga, dan beragam informasi lainnya dalam bentuk buku ataupun CD yang diberikan kepada pengunjung secara cuma-cuma.
Booth dikelompokkan menjadi 8 zona area, termasuk sebuah panggung yang disediakan sebagai tempat untuk diskusi, menyampaikan informasi, dan pertunjukan budaya. Peserta yang datang diberikan sebuah kartu yang berguna layaknya sebuah “paspor”. Setiap pengunjung bebas mengunjungi booth yang diinginkan yang terdiri atas organisasi dan lembaga antikorupsi serta perwakilan pemerintahan Thailand. Kepada pengunjung juga diberikan sebuah stamp bergambar maskot IACC 2010 sebagai tanda kunjungannya.
(Humas)
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Celengan Antikorupsi untuk Korban Merapi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Masyarakat Antikorupsi – Komunitas Seniman Yogya (ACSC) dan Presiden Mural Yogya Samuel Indratma, Sabtu (13/11) mengadakan kegiatan melukis celengan gerabah dalam rangka menghimpun dana yang akan disumbangkan untuk para pengungsi korban Merapi.
Beberapa celengan berukuran besar akan ditempatkan di kawasan titik nol Yogyakarta, tepat di depan Monumen Serangan Oemom 1 Maret. Semua yang melewati daerah ini, bisa menyumbangkan uang dengan memasukkan ke celengan raksasas dan celengan ini akan dipecahkan sebulan kemudian. Seluruh hasil dari celengan ini akan diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI).
Adhi Setyo Tamtomo, Spesialis Pendidikan , Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, mengatakan acara melukis celengan ini bertema "Korupsi Juga Bencana : Eling lan Waspada". Hal ini dimaksudkan, tindak korupsi bisa menyebabkan ribuan bahkan jutaan rakyat menderita. "Rakyat yang semestinya menikmati sebuah pembangunan jalan, misalnya, malah dirampas haknya dengan semena-mena oleh orang yang hanya mementingkan perutnya sendiri," ujar Adhi.
Dia melanjutkan, seni dan budaya bisa digunakan sebagai media untuk perlawanan korupsi. “Cara ini lebih efektif, apalagi Yogya juga merupakan salah satu kota percontohan yang bagus transparansi pemerintahnya.”
Acara yang diadakan di Taman Budaya Yogya ini juga diapresiasi oleh kalangan seniman seperti Mba Ledjar, Maman Rahman, Noto Digsono, Sentot Widodo, Lulus Santosa yang turut melukis celengan berukuran besar tersebut. Kegiatan ini rencananya juga digelar di Jawa Barat yang penuh dengan seni dan budaya.
"Kami berharap uang yang dimasukkan ke celengan untuk korban Merapi ini hendaknya jangan uang hasil korupsi. Tapi betul-betul dari jerih payah sendiri tanpa merugikan orang dan dilandasi hati yang tulus serta ikhlas," tambahnya.
Adhi juga yakin, masyarakat Yogya akan mendukung sepenuhnya gerakan ini. "Begitu indahnya jika warga Yogya yang dikenal begitu kentalnya rasa solidaritas ini juga memproklamirkan diri sebagai masyarakat anti korupsi." (humas)
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Beberapa celengan berukuran besar akan ditempatkan di kawasan titik nol Yogyakarta, tepat di depan Monumen Serangan Oemom 1 Maret. Semua yang melewati daerah ini, bisa menyumbangkan uang dengan memasukkan ke celengan raksasas dan celengan ini akan dipecahkan sebulan kemudian. Seluruh hasil dari celengan ini akan diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI).
Adhi Setyo Tamtomo, Spesialis Pendidikan , Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, mengatakan acara melukis celengan ini bertema "Korupsi Juga Bencana : Eling lan Waspada". Hal ini dimaksudkan, tindak korupsi bisa menyebabkan ribuan bahkan jutaan rakyat menderita. "Rakyat yang semestinya menikmati sebuah pembangunan jalan, misalnya, malah dirampas haknya dengan semena-mena oleh orang yang hanya mementingkan perutnya sendiri," ujar Adhi.
Dia melanjutkan, seni dan budaya bisa digunakan sebagai media untuk perlawanan korupsi. “Cara ini lebih efektif, apalagi Yogya juga merupakan salah satu kota percontohan yang bagus transparansi pemerintahnya.”
Acara yang diadakan di Taman Budaya Yogya ini juga diapresiasi oleh kalangan seniman seperti Mba Ledjar, Maman Rahman, Noto Digsono, Sentot Widodo, Lulus Santosa yang turut melukis celengan berukuran besar tersebut. Kegiatan ini rencananya juga digelar di Jawa Barat yang penuh dengan seni dan budaya.
"Kami berharap uang yang dimasukkan ke celengan untuk korban Merapi ini hendaknya jangan uang hasil korupsi. Tapi betul-betul dari jerih payah sendiri tanpa merugikan orang dan dilandasi hati yang tulus serta ikhlas," tambahnya.
Adhi juga yakin, masyarakat Yogya akan mendukung sepenuhnya gerakan ini. "Begitu indahnya jika warga Yogya yang dikenal begitu kentalnya rasa solidaritas ini juga memproklamirkan diri sebagai masyarakat anti korupsi." (humas)
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Langganan:
Postingan (Atom)