Harta pejabat dan pegawai negeri yang tak jelas muasalnya diusulkan agar bisa dirampas untuk negara. Perampasan ini untuk menambal bolong aturan soal penyitaan harta tak wajar yang tak bisa dibuktikan undang-undang korupsi.
"Pegawai negeri yang kekayaannya luar biasa serta saat diperiksa tak bisa membuktikan asal-usulnya, hartanya disita oleh negara," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Mochammad Jasin, seusai seminar "Perolehan Harta Kekayaan Pejabat Publik yang Tidak Wajar" di Jakarta, Sabtu lalu.
Jasin menyitir kasus Gayus Tambunan, pegawai pajak golongan III-A yang memiliki harta berlimpah. Menurut Jasin, penegak hukum tak bisa merampas langsung harta Gayus lantaran perlu membuktikan dulu kejahatannya. Bila Gayus hanya terbukti menyuap penegak hukum, tidak seluruh hartanya yang dicurigai berasal dari suap bisa disita negara.
Gayus, terdakwa kasus mafia hukum, memiliki uang tunai dan emas batangan bernilai lebih dari Rp 100 miliar. Dia juga memiliki mobil dan rumah mewah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Padahal gaji resmi Gayus hanya Rp 12 jutaan per bulan, termasuk gaji pokok dan berbagai tunjangan.
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein menambahkan, setidaknya ada dua cara merampas aset tak wajar. Pertama lewat konsep illicit enrichment, dan kedua lewat non-conviction based on asset forfeiture.
Dalam konsep pertama, harta dirampas bukan untuk menghukum pelaku. Perampasan dilakukan karena seorang penyelenggara negara tak bisa menjelaskan asal-usul hartanya yang tak wajar. "Ini bisa dilakukan sebelum masuk proses hukum," kata Yunus.
Adapun dalam konsep kedua, perampasan dilakukan apabila diketahui harta tak wajar seorang pejabat berasal dari suatu tindak pidana dan telah melewati proses hukum. Konsep kedua inilah yang diusulkan dalam Rancangan UndangUndang Perampasan Aset.
Menurut Yunus, kedua konsep itu bisa diterapkan dalam undangundang berbeda. Meski Indonesia, misalnya, telah memiliki UndangUndang Perampasan Aset, konsep illicit enrichment bisa dimasukkan dalam Undang-Undang Penyelenggara Negara yang Bersih, yang di dalamnya diatur kewajiban pelaporan harta penyelenggara negara.
Konsep itu, kata Yunus, bisa juga dimasukkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang baru, seperti tercantum dalam draf beleid itu yang kini ada di tangan pemerintah.
Sumber : Koran Tempo
ARTIKEL INI BUKAN TANGGUNGJAWAB KPK RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar