Perang melawan korupsi yang ditabuh pemerintah Indonesia jalan di tempat. Buktinya, hanya terjadi sedikit perbaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2010 ini.
Dalam survei tahunan yang dilakukan Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin, Jerman ini, Indonesia hanya menempati peringkat 110 dari 178 negara yang disurvei. Tahun lalu, Indonesia berada di peringkat 111.
Seperti tahun 2009, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 hanya 2,8. Skor 0 untuk negara yang paling korup dan skor 10 untuk negara yang paling tidak korup.
"Membiarkan korupsi berlanjut tak bisa diterima. Terlalu banyak orang miskin dan lemah yang akan terus menderita sebagai konsekuensi dari tingginya korupsi di seluruh dunia," kata Presiden TI, Huguette Labelle seperti dilansir AFP, Selasa (26/10/2010).
Dalam survei ini, ada tiga negara yang sama-sama mendapat skor tertinggi (9,3), yang artinya merupakan negara yang paling rendah tingkat korupsinya. Negara itu adalah Denmark, Selandia Baru, dan Singapura. Pada level beriktnya diikuti Finlandia, Swedia, Kanada, dan Belanda.
Negara yang paling korup tahun 2010 ini adalah Somalia dengan skor 1,1. Selanjutnya, Myanmar dan Afghanistan sama-sama menempati peringkat kedua negara terkorup di dunia.
Di Asia Tenggara, Brunei Darussalam meraih skor 5,5 dan menempati peringkat 38. Skor ini menempatkan Brunei sebagai negara terbersih kedua dari korupsi di Asia Tenggara setelah Singapura.
Sedangkan Malaysia menempati rangking 56 dengan skor 4,4. Thailand ada di urutan 78 dengan skor 3,5. Dalam survei ini, Indonesia hanya sedikit lebih baik dibandingkan Vietnam yang berada di urutan 116 dengan skor 2,7.
Kebal Hukum
Menanggapi hasil survei TI ini, Ketua Transparency International (TI), Todung Mulya Lubis menilai bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak ada kemajuan. “Pemberantasan korupsi jalan di tempat dan stagnan," tandasnya.
Capaian Indonesia, kata Todung, berada di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura (skor 9,3), Malaysia (4,4), Thailand (3,5). Indonesia setara dengan sejumlah negara terbelakang, seperti Bolivia, Gabon, Kosovo, dan Solomon Island. Posisi Indonesia hanya unggul dari Vietnam (2,7), Filipina (2,4), Kamboja (2,1), Laos (2,1), dan Myanmar (1,4).
Todung menduga, IPK Indonesia jalan di tempat karena melemahnya kinerja pemberantasan korupsi dalam setahun terakhir. Sejumlah kasus yang menunjukkan itu antara lain pelemahan KPK dan kasus Gayus Tambunan.
"Pada kasus Gayus, menunjukkan pengadilan dan pertanggungjawaban pidana hanya sampai pada orang yang tidak memiliki kekuasaan. Sedangkan yang ada di sekeliling kekuasaan mempunyai kekebalan hukum. Ini contoh sempurna dari kasus korupsi yang sistematik," jelas Todung.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochamad Jasin menilai, stagnannya pemberantasan korupsi–yang kemudian dipersepsikan dalam IPK–disebabkan karena sistem hukum dan sistem politik di Indonesia masih korup.
“Pencalonan anggota DPR, DPRD, dan pilkada, selalu mengumbar duit. Ini beresiko korupsi politik, karena setiap pilkada tidak ada yang berakhir tenang, semua ricuh. Inilah yang dinilai oleh peneliti internasional,” jelas Jasin.
Selain itu, kata Jasin, perizinan investasi yang mahal, berbelit-belit, dan korup juga menjadi penghambat perbaikan IPK Indonesia. Akibatnya, investor masih kesulitan menanamkan modalnya di Indonesia dengan tenang.
Sebenarnya, lanjut Jasin, perbaikan birokrasi dalam lima tahun ini mulai dijalankan di tiga lembaga yang menjadi pioner, yakni, Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Mahkamah Agung.
“Tiga lembaga itu sebenarnya diprioritaskan, tapi justru terganjal kasus Gayus. Jadi tidak integrated, tidak komperhensif, dan tidak parsial. Inilah faktanya,” jelasnya.
Lantas, bagaimana solusinya? Menurut Jasin, pencegahan dan penegakan hukum harus berjalan beriringan. (Dwi/AFP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar